Page 236 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 236

DARI SUFISME KE SALAFISME  —  215


               begitu, al-Imam bukanlah sekadar soal menerjemahkan pesan Muhammad
               ‘Abduh, dan terdapat ketegangan yang signif kan antara Kairo dan Singapura.
               Kritik Rida terhadap keistimewaan ‘Alawiyyah, terutama sikapnya mengenai
               kesamaan hukum antara sayyid dan non-sayyid, pastinya sangat problematis
               bagi sebagian dari para penyokong dan editor al-Imam yang lebih berorientasi
               ‘Alawi,  yang  tidak  akan  pernah  mempermasalahkan  persoalan  kesetaraan
               hukum atau asumsi bahwa para leluhur mereka dari kalangan Arab elite-lah
               yang membawa Islam ke negeri-negeri Jawi.
                    Sebaliknya, beberapa kontributor dan pembaca Melayu mungkin sangat
               tidak setuju. Sangat mungkin bahwa pada akhir 1908 para penyokong dan
               sisa  pembaca  al-Imam  bertanya-tanya  apa  sebenarnya  konstituen  mereka.
               Kenyataan bahwa pada tahun-tahun setelahnya kita mendapati para tokoh
               al-Imam  berada  pada  sisi-sisi  yang  berbeda  dalam  berbagai  perselisihan
               ideologis akan menunjukkan bahwa memang terdapat retakan internal pada
               masa-masa terakhir surat kabar tersebut. Pada Januari 1909 al-Imam tidak ada
               lagi, dan al-Zawawi kembali ke Hijaz untuk menduduki jabatan yang pernah
               diduduki Ahmad Dahlan. Namun, ini sama sekali bukanlah akhir terbitan
               berkala dengan aksara Arab di Singapura, apalagi akhir perselisihan mengenai
               kepemimpinan  komunitas  Muslim.  Setidaknya  empat  surat  kabar  muncul
               pada  bulan-bulan  berikutnya,  masing-masing  menyatakan  jalur  khasnya
               sendiri untuk melakukan pembaharuan. Bedanya, kini mereka menawarkan
               pembaharuan pada dua komunitas yang terpisah, dan dengan dua bahasa.
                    Dua dari surat kabar beraksara Arab itu jelas merupakan penerus al-
               Imam.  Salah  satunya,  al-Islah,  yang  menampilkan  artikel-artikel  karya  al-
               Kalali. Setelah memulai produksi di tempat lain, al-Islah segera menempati
               gedung  al-Imam.  Namun,  agak  berbeda  dari  pendahulunya,  al-Islah
               mengadopsi  kebijakan  yang  secara  terbuka  pro-sayyid.  Sementara  itu,
               percetakan asli al-Islah digunakan untuk surat kabar kedua, al-Husam, yang
               mengklaim orang-orang Arab Riau dan Johor sebagai khalayak pembacanya.
               Ada lagi surat kabar ketiga, al-Watan, di bawah bimbingan editorial seorang
               sayyid yang lain, Muhammad b. ‘Abd al-Rahman al-Masyhur, yang dikaitkan
               dengan masa-masa awal Jam’iyyat al-Khayr, sebuah organisasi kesejahteraan
               Arab yang didirikan di Batavia sekitar 1905. 36
                    Dari ketiga surat kabar tersebut, al-Watan adalah yang paling berwarna
               Arab,  mendorong  yang  modern  sembari  menjaga  hak-hak  istimewa  kaum
               sayyid.  Al-Watan  juga  jelas-jelas  berpihak  kepada  para  reformis  Kairo,
               menuduh al-Manar dan para editornya sebenarnya perwakilan Wahhabiyyah
               yang menyamar dengan buruk. Sayyid ‘Utsman juga tidak menyukai nada
               al-Manar. Cucunya, Muhammad b. Hasyim b. Tahir (1882–1960) semula
               adalah koresponden reguler, sedangkan Sayyid ‘Utsman mendapati dirinya
               dan tulisan-tulisannya dikritik Sayyid Rasyid Rida yang membencinya akibat
   231   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241