Page 237 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 237

216  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN


          surat-surat  lain  dari  kawasan  ini  yang  mencemooh  kolaborasinya  dengan
          Snouck.  Ketika  pada  1909  Rida  mulai  menampilkan  artikel-artikel  yang
          mencelanya sebagai “Dajjal”, Sayyid ‘Utsman yang berusia delapan puluhan
          itu menyerang balik melalui karyanya yang menuduh Jamal al-Din al-Afghani,
          “si  Koptik”  Muhammad  ‘Abduh,  dan  “penguasa  al-Manar”  Rasyid  Rida
          sebagai para dajjal sebenarnya yang merusak kaum Muslim modern. Rida bisa
          jadi memuji menantu ‘Utsman, yakni Bin ‘Aqil, atas kerjanya menyebarkan
          pesan al-Manar di Asia. Namun, Bin ‘Aqil tidak menyukai sikap orang Suriah
          itu mengenai martabat sayyid dan mulai khawatir bahwa dia telah menganut
          tulisan-tulisan Ibn Taymiyyah, yang pada saat itu merupakan sumber utama
          bagi para pangarang Wahhabi. 37
              Surat  kabar  berbahasa  Arab  lainnya  yang  muncul  setelah  al-Imam
          bisa dikelompokkan sebagai corong bagi sikap pro-‘Alawi yang dipaksakan
          kepada mereka oleh lingkungan kolonial, juga dapat dibedakan satu sama
          lain dengan melihat sejauh mana mereka menolak Salaf yyah. Adil kiranya
          jika dikatakan bahwa klaim mereka masing-masing terhadap kesahihan dalam
          menyampaikan reformasi dengan beragam corak mungkin telah memunculkan
          reaksi di kalangan kolaborator lokal yang dianggap berasal dari keturunan
          yang kurang terhormat. Ini bisa dengan mudah dilihat di halaman-halaman
          Neracha, penerus pertama al-Imam yang berbahasa Melayu. Neracha dieditori
          ‘Abbas b. Muhammad Taha. Kehadirannya segera diikuti kelahiran surat kabar
          berbahasa Melayu lain yang dicetak di Kairo, al-Ittihad, yang memandang
          perjuangan orang-orang “Jawi” terpisah dari perjuangan-perjuangan muslim
          lain, termasuk perjuangan orang-orang Turki dan Mesir. 38
              Bisa  dikatakan  bahwa  kejawian  bisa  dianggap  mendasari  penerus  al-
          Imam di Sumatra Barat yang bahkan lebih polemis, al-Munir. Surat kabar ini
          didirikan oleh sekelompok murid Ahmad Khatib al-Minankabawi pada 1911.
          Al-Munir bahkan melangkah lebih jauh dalam mengadopsi kebijakan eksklusi
          baik terhadap tarekat maupun para sayyid ‘Alawi. Padang kemungkinan besar
          merupakan salah satu dari sedikit lokasi di Nusantara yang memungkinkan
          hal semacam ini bisa terjadi. Meski turut andil dalam kampanye membantu
          Naqsyabandiyyah, Sumatra Barat memiliki komunitas Hadrami terkecil di
          Nusantara. Hal ini karena Hadrami hanya melakukan sedikit usaha untuk
          masuk ke masyarakat matrilineal. Kakek Ahmad Khatib jelas bukan seorang
          sayyid.  Dia  memang  menghormati  para  syarif  Mekah  pendukungnya,  tapi
          dalam berbagai percakapan dia juga merenungkan bagian yang tidak setara
          bagi Jawi di Arabia. 39
              Apakah para pemimpin di belakang al-Munir—‘Abdallah Ahmad, Hajji
          Rasul, dan Syekh Jamil dari Jambek—telah sepenuhnya beralih dari Suf sme
          elitis Sayyid ‘Utsman dan Ahmad Khatib ke Salaf sme Muhammad ‘Abduh
          dan Rasyid Rida tidak segera terlihat. Yang jelas, mereka dianggap oleh lawan
   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241   242