Page 245 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 245

224  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN


          Prancis  Louis  Massignon  (1883–1962),  yang  tinggal  bersamanya  pada
          1921. Murid-muridnya belakangan bertanya-tanya bagaimana Snouck dan
          Massignon bisa tinggal bersama, mengingat Snouck terkenal tidak menyukai
          orang-orang  Katolik  dan  mencela  bahasa  Arab  si  orang  Prancis.  Namun,
          surat-surat kepada Nöldeke menunjukkan adanya kehangatan yang tulus di
          antara  Snouck  dan  Massignon.  Meskipun  kehangatan  itu  tidak  mencegah
          Snouck untuk menyatakan bahwa baginya karya Massignon “nyaris tak bisa
          dicerna”. 19
              Barangkali ini karena rasa suka yang diakui Snouck secara terbuka terhadap
          kejernihan  al-Ghazali  dibandingkan  kesamaran  Ibn  al-‘Arabi.  Pastinya,  al-
          Hallaj bukanlah yang paling menonjol dalam pikiran Snouck sepuluh tahun
          sebelumnya ketika dia mengungkapkan pandangannya mengenai apa kiranya
          yang  dibutuhkan  “kaum  Mohammedan  Hindia”  “untuk  mempertahankan
          sebuah tempat dalam berbagai urusan dunia”. Sebagaimana telah dinyatakan
          Snouck,  mereka  “dengan  senang  hati  menerima”  kepemimpinan  Belanda
          dalam pendidikan dan pembangunan, “oleh karena itu tanpa prasyarat apa
          pun  mereka  meninggalkan  para  wali  kuno  demi  kami”.  Snouck  bahkan
          memungkasi kuliah tersebut dengan menyatakan bahwa tugas historis yang
          besar di depan bangsa Belanda adalah memberantas segala bentuk kepicikan
          agama, sekuler, atau politis dalam apa yang merupakan negara kolonial Hindia
          Belanda yang sudah jelas batas-batasnya. Dia tampaknya memikirkan Hindia
          dengan  mengecualikan  dunia  Melayu.  Di  satu  sisi,  dia  menggambarkan
          dampak reformisme Ghazalian terhadap tarekat-tarekat seperti Sammaniyyah.
          Di sisi lain, dia tidak pernah mengaitkan sebuah peran dalam sejarah yang
          digambarkan kepada keluarga Sanusi. Hal itu kemungkinan besar karena para
          agennya aktif di luar wilayah kekuasaan Belanda dan pada waktu yang lebih
          belakangan daripada periode yang paling menarik minatnya. 20
              Pemisahan ini membawa kita ke persoalan bahasanya yang menetapkan
          batas-batas teritorial. Segera setelah masa tinggalnya di Mekah, tempat dia
          menyaksikan  kaum  Muslim  Nusantara  menjadi  kian  sadar  akan  sebuah
          identitas Jawi yang terpisah, Snouck mulai menggunakan istilah yang kian
          populer di Leiden, dengan merujuk pada sebagian orang sebagai “Indonesiër”.
          Meski  demikian,  pada  1880-an  masih  belum  ada  penyamaan  yang  pasti
          antara  Hindia  Belanda  dan  Indonesia,  dengan  yang  pertama  dipandang
          sebagai sub-bidang dari yang belakangan, dan dalam tulisan dalam Mekka
          mengenai  “Indonesia  yang  Muslim”,  Snouck  masih  mengakui  keberadaan
          nonmuslim baik di dalam maupun di luar daerah kekuasaan Belanda. Ini
          juga  merupakan  kerangka  yang  digunakan  dalam  laporannya  mengenai
          orang-orang Aceh sewaktu dia menggambarkan “kaum Mukmin Indonesia”,
          dan “kaum Mohammedan Indonesia”, dan bicara mengenai hal-hal sebagai
          entah “khas Indonesia” (seperti praktik-praktik Syattariyyah yang “jelas-jelas
   240   241   242   243   244   245   246   247   248   249   250