Page 246 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 246

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  225


               dipengaruhi Hindu”) atau “tidak khas Indonesia” (seperti pengabaian yang
               lazim terhadap shalat harian). 21
                    Istilah-istilah semacam itu juga kerap muncul dalam berbagai artikel dan
               kuliahnya. Seiring berlalunya waktu, tampaknya “Hindia” dan “Indonesia”
                               22
               menjadi  sinonim.   Yang  tak  pernah  dinyatakan  Snouck  secara  eksplisit
               adalah  konsep  dalam  karyanya:  “Islam  Indonesia”  dan  kepribadian-nya.
               Sebaliknya, lompatan itu akan dilakukan oleh orang-orang lain yang bekerja
               di bawah naungan kesarjanaannya. Namun, dengan segala sentimen liberal
               mereka, “Indonesia” masih merupakan sebuah abstraksi bagi banyak Indolog
               Leiden pada 1910-an. Gerakan nasionalis masih harus mengambil alih istilah
               tersebut karena para anggota elite Klub Mahasiswa di Leiden lazimnya lebih
               mengidentif kasi diri dengan Jawa ketimbang apa yang disebut Pulau-Pulau
               Luar. Fokus ini juga lebih dari sekadar tampak dalam judul dan isi sebuah
               surat kabar baru yang akan dibaca oleh kebanyakan dari mereka. Didirikan
               pada  1921,  Djåwå  memberi  ruang  untuk  artikel-artikel  ilmiah  yang  lebih
               sering berfokus pada kesusastraan dan arkeologi ketimbang pada Islam, meski
               sebagian  pejabat  lulusan  baru  akan  memandangnya  sebagai  sebuah  organ
               sesekali bagi artikel mengenai agama tersebut.


               TAREKAT KE SERIKAT, SAYYID KE SYEKH
               Meskipun  sosoknya  dianggap  besar  dalam  sejarah  Indonesia,  Snouck  tak
               banyak terkait dengan berbagai perkembangan kalangan reformis di Sumatra
               dan Jawa selain membantu mempertahankan sebuah atmosfer yang toleran
               untuk aktivitas mereka. Andai saja tinggal di Batavia setelah 1906, Snouck
               pasti akan punya lebih banyak hal untuk disampaikan mengenai persoalan
               keterlibatan reformis dalam gerakan nasional yang berkembang pesat. Berawal
               dalam konteks perkotaan seperti Padang, Batavia, dan Surakarta, para aktivis
               yang berkomitmen pada pesan modernis, yang sebagian besarnya memancar
               dari  Kairo  dan  Singapura,  mulai  bekerja  menjalin  jaringan  sekolah  dan
               masyarakat. Dalam sebagian kasus, dorongannya adalah persaingan karena
               para  misionaris,  serta  masyarakat  Arab  dan  Tionghoa,  telah  mengadopsi
               tujuan yang modern dengan mendirikan sekolah, panti asuhan, dan rumah
               sakit.
                    Sebagian  pihak  dalam  pemerintah  kolonial  mengkhawatirkan
               perkembangan politik yang demikian. Di sisi lain, para cendekiawan yang
               bertugas  di  Kantor  Urusan  Pribumi  menganggap  semua  itu  sebagai  bukti
               adanya kehendak melakukan modernisasi di kalangan Muslim pribumi. Jelas
               bahwa kaki tangan Snouck aktif membina hubungan dengan para pemimpin
               organisasi-organisasi semacam itu, dan mereka pun pada gilirannya mendapat
               pembinaan.  Di  antara  orang-orang  Muslim  yang  berada  di  persimpangan
   241   242   243   244   245   246   247   248   249   250   251