Page 243 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 243
222 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
bagi banyak murid terpilih Snouck. Tidak semuanya merasa sangat diberkati
oleh mentor mereka itu. Salah seorang yang tidak setia kepada Snouck adalah
D.A. Rinkes (1878–1954). Semula dikirimkan ke Taman Botani di Bogor
pada 1899, dia mendaftar di Akademi Willem III guna mencari prospek
karier yang lebih luas dan ditempatkan di Korinci, Sumatra Barat, pada
1903. Dia kembali ke Belanda dan mendaftar di Leiden pada 1906 untuk
mengikuti ketertarikan yang dikembangkan di bawah bimbingan Hazeu dan
van Ronkel. Di sana dia banyak menggunakan berbagai manuskrip yang telah
dikumpulkan Snouck di lapangan, yang tak diragukan lagi mengesankannya
dengan hasratnya untuk mengaitkan pengamatan personal dengan sumber-
sumber arsip. Dia mempertahankan hasilnya yang berupa sejarah ‘Abd al-
Ra’uf al-Sinkili dan Syattariyyah pada 1909, memperluas pengamatan Snouck
mengenai pengaruh Syattariyyah terhadap ‘Abd al-Muhyi Pamijahan. Karya
tersebut diikuti serangkaian artikel Rinkes yang ditujukan untuk Wali Sanga
dalam TBG, jurnal utama bagi riset Hindia. Sebuah putusan terakhir mengenai
jumlah mereka menjadi tidak berarti ketika Rinkes meninggalkan proyek
tersebut setelah menulis bagian-bagian yang mengkhususkan diri hanya pada
empat wali, mengenai sifat dasar yang ajaib, dan mengenai kekuatan makam. 15
Tidak semua murid Snouck di Leiden mencurahkan perhatian pada
kajian silsilah mistis, para wali, dan magis, tetapi masih adil kiranya jika
dikatakan bahwa kebanyakan mereka terobsesi dengan pertanyaan mengenai
asal usul. Dalam arti tertentu apa yang mereka lakukan tidaklah begitu
berbeda dari apa yang hendak dicapai oleh sebagian cendekiawan muslim
hingga sebuah titik. Karena meski mereka semua menyaring laporan-laporan
yang asli dari yang palsu, hanya orang-orang Muslim-lah yang melakukan hal
tersebut demi mencari kebenaran agama. Atau, setidaknya hanya orang-orang
Muslim di luar Leiden. Beberapa orang Indonesia dari kalangan elite yang
bekerja di universitas di bawah bimbingan langsung Snouck mendapat jenis
pendidikan yang sama seperti para sejawat Belanda mereka. Barangkali yang
paling terkenal dari mereka adalah Hoesein Djajadiningrat (1886–1960),
sepupu Aboe Bakar, dan orang Indonesia pertama yang menyelesaikan gelar
doktor di Leiden (pada 1913) dengan kajian kritisnya mengenai Sajarah
Banten. Pada 1909 Snouck menilainya sebagai yang paling baik dari semua
anak didik ilmiahnya. 16
Selama tahun-tahun berikutnya ketika Snouck mengambil peran
mentor bagi para pejabat masa depan yang pengujiannya dia awasi dan bagi
sangat sedikit mahasiswa Hindia yang tidak tertarik ke bidang hukum dan
kedokteran yang prestisius, Snouck selalu menekankan aspek-aspek historis
Islam dan perannya di Hindia. Dalam artikel-artikelnya, dia barangkali tidak
merujuk secara langsung pada tulisan-tulisan ‘Abduh dan Rida, atau pada
berbagai aktivitas Turki Muda, tetapi dia memiliki pandangan optimistis yang