Page 244 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 244

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  223


               hati-hati terhadap tujuan umum reformasi mereka. Selain ini, jelaslah bahwa
               Snouck percaya bahwa, dengan penyebaran kekuasaan Eropa yang tampaknya
               tak bisa dihentikan hampir di seluruh negeri-negeri muslim, Mekah menjadi
               benteng terakhir “ortodoksi zaman pertengahan yang konservatif”—atau apa
               yang bahkan bisa disebut Islam “antik”—dan merupakan sumber “kepicikan
               spiritual dan fanatisme yang dibawa ke Nusantara”. Juga jelas bahwa Snouck
               masih menganggap tarekat memainkan peran dalam mengimpor nilai-nilai
               antik ini. Dalam berbagai kuliah dan kolom surat kabar dia masih merujuk
               pada penurunan derajat tarekat di kalangan orang-orang awam, mengingatkan
               para pembacanya bahwa lembaga-lembaga semacam itu masih bisa menjadi
               instrumen yang berbahaya di tangan para guru yang tak punya prinsip. Meski
               demikian, dia merasa bahwa gagasan-gagasannya telah memiliki dampak dan
               bahwa kekuasaan Belanda serta pendidikan modern kian “mengemansipasi”
               orang-orang Muslim dan menyemai benih revolusi di kalangan elite yang oleh
               pemerintah  kolonial  harus  dibina  atau  dibiarkan  berkembang  berdasarkan
               syarat-syaratnya sendiri. Karena meski memuji berbagai perubahan di Turki
               dan  Mesir,  Snouck  menulis  surat  kepada  Nöldeke  mengenai  “keyakinan
               mutlak”-nya bahwa “Indonesië” akan terbukti merupakan situs yang paling
               mungkin  bagi  pendekatan  kembali  antara  Islam  dan  humanisme,  meski
               gerakan-gerakan baru tersebut menimbulkan bahaya potensial bagi negara. 17
                    Optimismenya  juga  tampaknya  diproyeksikan  pada  kedudukan
               perempuan dan menurunnya kekuatan kaum Suf . Dia bahkan mengumumkan
               kepada publik bahwa terdapat lebih sedikit perlawanan di Hindia terhadap
               emansipasi  perempuan  dibandingkan  di  Turki  atau  Mesir,  meski  orang-
               orang kebanyakan masih “berpegang teguh pada jubah para guru Suf ”, atau
               mempersembahkan pertunjukan wayang untuk para wali. Dia secara eksplisit
               menyuarakan harapan bahwa zaman modern dan paparan kebudayaan Barat
               akan  mengakhiri  kecintaan  populer  terhadap  para  wali.  Namun,  sebagai
               seorang  sejarawan,  Snouck  menyatakan  bahwa  bagaimanapun  kita  harus
               berterima kasih kepada para pemuja wali yang terbelakang itu. Dalam “tulisan-
               tulisan mistis yang menyimpang” itulah kita bisa melihat kepribadian sejati
               “kaum  Mohammedan  Hindia”.  Bahkan,  sebagaimana  didapati  di  sekolah-
               sekolah  modern,  Snouck  mengklaim  bahwa  kita  masih  bisa  menemukan
               “perpaduan dan perbandingan yang paling muskil”, serta “absurditas yang
               paling menggelikan”. 18
                    Ketika sampai pada perbandingan, Snouck tidak bisa tidak mencatat
               sambil  lalu  bahwa  kisah-kisah  tertentu  dari  Indonesia  tampaknya
               mengingatkan pada kisah-kisah dari tempat lain di Dunia Muslim. Dalam
               sebuah  catatan  kaki  dia  menyarankan  bahwa  nasib  Lemah  Abang  yang
               menyimpang tampaknya merupakan pengulangan dari kesyahidan al-Hallaj.
               Tak diragukan lagi dia telah mengomunikasikan hal ini dengan cendekiawan
   239   240   241   242   243   244   245   246   247   248   249