Page 247 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 247

226  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN


          antara aktivisme publik, agama, dan kekuasaan adalah Agoes Salim (1884–
          1954) dan Ahmad Surkati (1872–1943). Agoes Salim, seorang Minangkabau
          berbakat yang dididik di Batavia oleh Snouck dan dikirim ke Jeddah di bawah
          bimbingan  Aboe  Bakar  Djajadiningrat,  mendapati  dirinya  terdampar  di
          antara jemaah haji yang dia harap dapat dijunjungnya dan Belanda yang dia
          coba untuk ditirunya. Dalam setelan kolonial putihnya, Salim menyediakan
          sebuah  kontras  bagi  Aboe  Bakar  dan  al-Zawawi,  dua  perwakilan  tatanan
          tradisional. Dia kembali ke Jawa, dalam keadaan sudah berubah baik secara
          keagamaan  maupun  politis  setelah  bersinggungan  dengan  Ahmad  Khatib
          yang adalah famili dari pihak ibunya. Di Jawa dia bekerja sebagai seorang
          kerani dalam pemerintah.
              Sementara itu, Ahmad Surkati si orang Sudan sampai ke Jawa melalui
          jalur yang sangat berbeda. Direkrut dari Mekah pada 1911, dan segera setelah
          keberangkatan  Salim,  dia  mengajar  di  Sekolah  al-‘Attas  (yang  berkaitan
          dengan  perkumpulan  kesejahteraan  Jam’iyyat  al-Khayr)  sebelum  berpisah
          dengan para majikan sayyid-nya pada 1914. Pada 1915 dia adalah pilihan
          yang realistis untuk memimpin gerakan reformis baru di kalangan Arab dari
          keturunan  yang  kurang  terhormat.  Dikenal  sebagai  al-Irsyad,  gerakan  ini
          disokong oleh pengusaha kaya dan pimpinan komunitas Arab di Batavia yang
          diangkat oleh Belanda sejak 1902, ‘Umar Manqusy (w. sekitar 1948). Surkati
          juga  berperan  sebagai  seorang  penasihat  dalam  apa  yang  pada  dasarnya
          merupakan organisasi saudara (tua)-nya, Muhammadiyah, yang didirikan di
          Yogyakarta pada 1912 oleh Ahmad Dahlan (1868–1923), yang tertarik pada
          tulisan-tulisan Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rida.
              Dahlan  merupakan  seorang  pemimpin  lokal  yang  tengah  menjadi,
          setidaknya di atas kertas, gerakan massa terbesar untuk orang-orang pribumi
          Hindia, Sarekat Islam (SI). Perserikatan ini muncul di Surakarta dari sebuah
          komunitas  kecil  orang  Jawa  yang,  dengan  dukungan  istana,  berusaha
          mempertahankan posisi ekonomi dalam perdagangan batik bersaing melawan
          Tiongkok. Sangat berlawanan dengan dugaan para pendiri SI, banyak kota
          besar di Jawa segera menyaksikan pendirian cabang-cabang persaudaraan, yang
          karakternya sering berbeda satu sama lain seperti dalam kasus Yogyakarta, yang
          tak  pernah  diizinkan  bersinggungan  dengan  kepentingan  Muhammadiyah
          di bawah Ahmad Dahlan. Ini bukan berarti bahwa Sarekat Islam sejak awal
          dirancang sebagai sebuah gerakan sosial. Meski ada rencana untuk mendirikan
          sekolah dan rumah sakit seperti usaha-usaha Muhammadiyah dan para murid
          Ahmad Khatib, hanya sedikit yang dilakukan untuk tujuan ini. 23
              Meski demikian, “Islam” dalam Sarekat Islam dianggap oleh sebagian
          anggota dan para pengagum dari jauh sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar
          penanda pribumi. Di beberapa kawasan, ritus inisiasi tidaklah berbeda dari
          ritual baiat ke dalam tarekat mistis, sebuah perkembangan yang menggelisahkan
   242   243   244   245   246   247   248   249   250   251   252