Page 61 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 61

40  —  INSPIRASI, INGATAN, REFORMASI


          adalah pernyataan bahwa Islam tidaklah lengkap tanpa memberi perhatian
          pada dimensi batin, dan sebuah peringatan bahwa pengetahuan mengenai
          realitas sejati harus dicari oleh semua orang. Begitu pula berbagai pemikiran
          yang  dihubungkan  kepada  Ibn  al-‘Arabi  yang  melanjutkan  tradisi  yang
          dipopulerkan oleh al-Fansuri dan Syams al-Din, dan kemudian dimoderatkan
          oleh ‘Abd al-Ra’uf.
              Diskusi mistis mengenai hubungan antara “batin” dan “lahir” merupakan
          sesuatu  yang  ajek  dalam  sejarah  Islam.  Namun,  kita  perlu  menekankan
          bahwa  menghubungkan  wacana  semacam  itu  dengan  aktivisme  tarekat
          hanyalah  dugaan  sejarah  yang  tidak  didasarkan  bukti  kuat.  Penyebutan
          topik-topik tersebut secara umum harus dipahami dalam wacana yang lebih
          luas mengenai ajaran etis, yang lazim disebut sebagai akhlaq. Meskipun kita
          mendapati beragam pengetahuan rahasia dalam buku-buku pegangan siswa,
          kadang disandingkan kutipan-kutipan dari Imam ‘Ali atau Ibn al-‘Arabi, hal
          ini jarang sekali bisa dilacak pada sebuah silsilah yang bisa dibuktikan atau
          bahkan dalam arti umum kepada para tokoh Jawi di kalangan muhaqqiqin.
              Simpulan  di  atas  melemahkan  pernyataan  yang  lazim  bahwa  Islam
          Indonesia  pada  abad  kedelapan  belas  hakikatnya  adalah  Suf sme  tarekat.
          Namun, bukti yang ada memberikan ruang kepada kita untuk menyatakan
          bahwa baiat minoritas yang menonjol pada saat itu terhadap seorang syekh
          Suf  tertentu bergantung pada apa yang diyakini sebagai klaim sang syekh
          terhadap  ortodoksi  dan  hubungannya  dengan  Mekah.  Lagi  pula,  Suf sme
          hanya bisa diakses oleh sekelompok elite sehingga wajar jika dalam lingkaran-
          lingkaran tarekat terdapat persaingan untuk masuk ke dalam elite tersebut
          dan untuk memiliki jubah sang guru asli. Pakubuwana IV barangkali tidak
          menyaksikan tantangan Sammani terhadap ajaran Karang pada akhir 1780-
          an, tetapi ada lebih dari cukup pengikut Syattari untuk berbagi warisan ‘Abd
          al-Muhyi. Lagi pula, perdebatan sering kali lebih bercorak politis ketimbang
          doktrinal.
              Berbagai koleksi manuskrip saat ini menunjukkan fakta bahwa banyak
          orang  Jawa  tetap  berbaiat  pada  Syattariyyah  dan  menggunakan  teks-teks
          terkait  seperti  Tarjuman  karya  al-Sinkili  serta  Tuhfa  karya  al-Burhanpuri.
          Ajaran Melayu “Karang” yang lebih tua juga tetap mendapatkan dukungan
          di  Jawa  hingga  beberapa  lama  melalui  berbagai  silsilah  dan  dalam  aneka
          bentuk.  Namun,  kadang-kadang  berbagai  penafsiran  dan  persaingan  bisa
          menimbulkan sempalan-sempalan baru yang lebih terhubung dengan berbagai
          mitos Wali Sanga ketimbang dengan Arabi via ‘Abd al-Muhyi (lihat Bab 8).
          Sebuah contoh silsilah ‘Abd al-Muhyi yang lebih bisa diverif kasi berlanjut
          melalui Bagus Nur Zayn dari Cirebon, dan dari sana ke putra-putranya. Jalur
          yang lain mengarah ke dua guru Batavia, Anak Tong dan Baba Jainan, yang
          pada gilirannya akan disusul oleh dua orang Syattari penutur bahasa Melayu
   56   57   58   59   60   61   62   63   64   65   66