Page 56 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 56

MENERIMA SEBUAH AJARAN BARU  —  35


               bahwa “tak ada sesuatu pun yang wujud selain Dia ... Dia adalah aku dan aku
               adalah Dia”. Dalam sebuah kisah yang seharusnya sudah familier bagi kita,
               Sultan Tamhid Allah memerintahkan agar dia dieksekusi. 21
                    Kita  memiliki  dasar  historiograf s  yang  lebih  kuat  pada  1781  ketika
               Muhammad  Arsyad,  yang  bertindak  berdasarkan  perintah  kerajaan,
               menjabarkan  Sirat  al-mustaqim  (Jalan  yang  Lurus)  karya  al-Raniri  untuk
               menghasilkan  karyanya  sendiri  Sabil  al-muhtadin  (Jalan  Orang-Orang  yang
               Mendapat  Petunjuk).  Berbeda  dari  al-Falimbani,  Muhammad  Arsyad  yang
               menempatkan  dirinya  dalam  silsilah  muhaqqiqin  sama  sekali  tidak  merujuk
               kepada Ibrahim al-Kurani, Syams al-Din, atau al-Burhanpuri. Sebaliknya, dia
               mendukung gerakan kembali pada tulisan-tulisan yang lebih terkendali, yaitu
               karya para cendekiawan Mesir yang “sadar” seperti al-Suyuti dan al-Sya‘rani;
               bahkan  karya  terbaru  mengenai  abad  kedelapan  belas  menunjukkan  bahwa
               karya-karya  al-Sya‘rani  menempati  kedudukan  yang  kian  bergengsi  dalam
               konteks Utsmani.  Juga terlihat jelas bahwa, agak mirip al-Raniri, generasi yang
                              22
               sedang naik daun itu tidak menyukai berbagai karya dan praktik “tradisional”
               Melayu. Al-Banjari mencemooh hikayat sebagai kisah yang tidak bisa dibuktikan
               dan mengutuk praktik pemberian sesaji untuk menolak bala sebagai “menjadi
               adat di beberapa tempat di negeri di bawah angin”. Sikap serupa berlangsung di
               Terengganu hingga 1830-an, sekitar tiga dekade setelah seorang qadi setempat
               mengeluarkan fatwa agar semua naskah semacam itu dibakar. 23
                    Walaupun  begitu,  berbagai  kebiasaan  lama  terbukti  sulit  untuk
               dihilangkan dari kawasan Melayu. Pada 1837 para misionaris Barat mendapati
               orang-orang Brunei dengan penuh minat menantikan hikayat-hikayat terbaru
               dari  Singapura.  Berbagai  af liasi  tarekat  pesaing  juga  sama  tangguhnya.
               Beberapa silsilah Suf  yang dikumpulkan di Filipina Selatan menunjukkan
               bahwa, meskipun Sammaniyyah mengalami kebangkitan di istana Palembang,
               Syattariyyah tetap hadir di sekitar pedalaman Sumatra.  Syattariyyah juga
                                                               24
               mendapatkan  kekuatan  di  kawasan  utara  Semenanjung  Malaya  di  bawah
               pengaruh murid al-Falimbani, Da’ud al-Fatani, yang tampaknya lebih tertarik
               pada  pendekatan  yuridis  gurunya  ketimbang  tarekatnya.  Para  pendukung
               martabat tujuh pun tidak dibungkam. Muhammad Naf s al-Banjari menyusun
               Durr  al-naf s  (Mutiara  yang  Berharga)  yang  secara  persis  mengungkapkan
               teosof  ini pada 1786. Hal ini bisa jadi merupakan kasus tempat kisah Kamal
               al-Din  terulang  karena  karya  itu  sangat  mungkin  ditulis  dari  Mekah  atau
               Madinah yang relatif aman. 25
                    Kita  memiliki  pernyataan  eksplisit  ‘Abd  al-Samad  dan  Muhammad
               Arsyad untuk mendasari diskusi kita mengenai berbagai peristiwa di Sumatra
               Timur dan Kalimantan Tenggara. Namun, ketika hendak menilai maksud
               rekan-rekan  seperjalanan  mereka  di  Jawa Tengah  dan Timur,  lebih  sedikit
               bukti yang tersedia. Bisa jadi Sammaniyyah memang telah tersebar di kalangan
   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61