Page 67 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 67

TIGA

             REFORMASI DAN MELUASNYA


                          RUANG MUSLIM

                                   1800 – 1890









             ita sekarang sudah melihat betapa, pada pengujung abad kedelapan belas,
         Kpara cendekiawan Jawi terkemuka menjalin hubungan dengan wacana
          “Mekah”  yang  tengah  bangkit  yang  menegaskan  kembali  norma-norma
          Ghazalian yang memisahkan hukum dan mistisme. Sebagiannya kemudian
          memungkinkan  bentuk-bentuk  Islam  ortodoks,  yang  mewujud  dalam
          madrasah,  bagi  kaum  beriman  yang  terdidik,  dan  tarekat  bagi  kelompok
          terpilih.  Mengingat  langkanya  informasi  yang  bisa  diandalkan,  kita  harus
          menyimpulkan, setidaknya untuk saat ini, bahwa bentuk-bentuk semacam
          itu bukannya tidak ada atau sangat terbatas di tanah Jawi pada abad-abad
          sebelumnya. Untuk melaksanakan program mereka, para cendekiawan seperti
          al-Falimbani  dan  al-Banjari  membutuhkan  dukungan  para  pangeran  yang
          kuat, baik untuk membiayai persinggahan mereka ke luar negeri atau untuk
          kesediaan  mendengarkan  pesan  mereka  setelah  mereka  kembali.  Namun,
          Palembang  dan  Banjarmasin  lebih  merupakan  pengecualian  ketimbang
          kelaziman.
              Dalam banyak contoh lain, raja-raja pribumi terus terpinggirkan oleh
          kekuatan Eropa, khususnya di Jawa. Seperti yang sekarang akan kita lihat,
          penerapan berbagai rencana untuk mereformasi Islam di pulau-pulau itu segera
          terjerumus  menjadi  rencana  dengan  berbagai  sumber  kekayaan  alternatif
          dan menghadapi beragam penafsiran liar yang berkobar di tengah ketiadaan
          pengawasan  kerajaan.  Banyak  penulis  memandang  marginalisasi  berbagai
          kelompok elite kerajaan sebagai sebuah gejala guncangan yang ditimbulkan
          oleh “modernisasi” atau “globalisasi”, tetapi secara umum kita harus hati-hati
          dalam menerapkan istilah-istilah tersebut. Dan, istilah-istilah itu kian penuh
          tendensi jika diterapkan pada konteks abad kesembilan belas ketika sebagian
          orang mengacaukan kebangkitan gerakan-gerakan puritan dengan apa yang
          dianggap  sebagai  bentuk  cikal  bakal  modernisme.  Pencampuradukan  ini
          merupakan  produk  sampingan  yang  anakronistis  dari  persekutuan  para
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72