Page 71 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 71

50  —  INSPIRASI, INGATAN, REFORMASI


          Setelah sebuah perdebatan yang tidak tuntas Delapan Tuanku melanjutkan
          aksi mereka dengan kekuatan penuh (sejak sekitar 1815), membakar pusat
          Syattari di Paninjauan, membunuh putra Nan Tua, dan memaksa sang syekh
          yang  sudah  renta  itu  bersembunyi.  Dia  juga  menyerahkan  Jalal  al-Din  ke
          tangan Belanda, dan untuk merekalah dia menuliskan versinya (dan dengan
          demikian juga versi mereka) mengenai kisah ini. 11
              Rujukan tak langsung lain terhadap pertempuran antara berbagai silsilah
          Suf   yang  bersaing  bisa  ditemukan  dalam  tulisan-tulisan  Syekh  Da’ud  dari
          Sunur (w. 1858), yang menuliskan sebuah serangan terhadap kaum Syattari
          setelah kekalahannya di tangan seorang syekh Lubuk Ipoh pada akhir 1820-an.
          Dalam traktat ini, yang kemungkinan ditulis setelah dia singgah di Arabia dan
          bermukim di kota pesisir Trumon, dia bicara mengenai keunggulan Islam yang
          dipraktikkan di Mekah dan Madinah—pada saat itu terlepas dari kekakuan
          fatwa Wahhabi—sembari mencatat bahwa doktrin martabat tujuh tidak lagi
          dipelajari di sana, seperti halnya dikecam di Kairo. Selain itu, sejalan dengan
          al-Falimbani, yang terjemahannya dia puji sembari mencela hikayat tradisional
          Melayu, dia menekankan karya-karya al-Ghazali dan Imam Nawawi. 12
              Mengingat besarnya penentangan terhadap ajaran martabat tujuh, yang
          terkait  erat  dengan  tradisi  Syattari,  apakah  mungkin  bahwa  Tuanku  Nan
          Salih  atau  Syekh  Da’ud  telah  menjadi  Naqsyabandi?  Hanya  sedikit  bukti
          mengenai kehadiran Naqsyabandi di Sumatra Barat, meskipun keberadaan
          tarekat  tersebut  semakin  lazim  di  Asia Tenggara.   Misalnya,  ‘Abdallah  b.
                                                     13
          ‘Abd  al-Qahhar  mengajarkan  ritual-ritual  Naqsyabandi  bersama  dengan
          ritual Syattariyyah di Banten pada 1750-an dan 1760-an, dan nama tersebut
          dimunculkan dalam teks-teks seperti Sajarah Banten dan padanan Melayu-
                                14
          nya Hikayat Hasan al-Din.  Kita juga memiliki catatan mengenai Sultan Suf 
          dari Bone, yang kemungkinan besar merasa ngeri mendengar laporan-laporan
          mengenai  kekejaman  Wahhabi  di  Mekah  dan  memerintahkan  penyalinan
          Al-Quran pada 1804 oleh seorang Makassar yang menyatakan diri sebagai
          “Naqsyabandi dalam hal tarekat”. 15
              Dengan  mengingat  contoh-contoh  semacam  itu,  sangatlah  mungkin
          bahwa  Tuanku  Nan  Salih  dan  Syekh  Da’ud  mewakili  sebuah  garis  baru
          Naqsyabandi yang tumbuh dari konf ik-konf ik lokal Syattari. Berbagai upaya
          Naqsyabandi berikutnya untuk menjalin hubungan dengan tatanan Utsmani
          yang dipulihkan kembali pada 1820-an barangkali bisa menjelaskan adanya
          kesan bahwa Syekh Da’ud telah menganut mazhab f kih “Hanaf ”, mengingat
          bahwa mazhab ini dominan di bawah kekuasaan Utsmani, dan didukung oleh
          tokoh-tokoh penting Naqsyabandi di Suriah. Para pengamat Eropa 1880-an
          pun mengklaim bahwa kaum Hanaf  (yang keras) telah berhasil mendominasi
          Cangking, meski tulisan Syekh Da’ud sendiri tegas menyatakan bahwa dirinya
          seorang penganut mazhab Syaf ‘i. 16
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76