Page 69 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 69

48  —  INSPIRASI, INGATAN, REFORMASI


          dihancurkan,  kecuali  kubah  Nabi  di  Madinah  dan  kubah  “Muhammad
          Badawi” di Mekah [sic]. 3
              Walaupun  begitu,  terdapat  beberapa  Jawi  yang  justru  terbangkitkan
          semangatnya ketimbang khawatir oleh peristiwa-peristiwa tersebut, termasuk
          para anggota gerakan Padri yang mungkin menyaksikan pendudukan Mekah
          yang pertama. Sebagian kaum Padri, yang menyatakan diri sebagai “orang
          putihan” yang benar-benar taat, bisa jadi adalah simpatisan Wahhabi. Banyak
          hal yang mereka upayakan di Sumatra Barat, mulai dari melarang konsumsi
          alkohol dan candu hingga melarang penajaman gigi, pewarisan matrilineal,
          serta judi sabung ayam. Meskipun, upaya tersebut bisa saja dilaksanakan oleh
          orang-orang  saleh  lainnya.  Betapa  pun,  terdapat  bukti  mengenai  gerakan
          yang sama kerasnya di Sumbawa pada sekitar masa itu, yang muncul setelah
          malapetaka letusan Gunung Tambora pada 1815. Bahkan, para pemimpinnya
          masih dihormati sebagai wali pada 1847. Sungguh sebuah fakta yang akan
          menyinggung perasaan setiap Wahhabi kalau saja mereka ada di kawasan itu. 4
              Ketimbang melihat kemunculan Wahhabi di Sumatra Barat, akan lebih
          berguna  memahami  gerakan  Padri  yang  berkembang  di  lingkungan  para
          cendekiawan dari tradisi Syattari, yang menolak otoritas para guru petahana
          yang  berkedudukan  di  kota  dataran  rendah  Ulakan.  Kita  mungkin  ingat,
          kawasan  ini  adalah  situs  makam  dan  sekolah  Syekh  Burhan  al-Din  yang
          didirikan  di  wilayah  kekuasaan  istana  Minangkabau.  Istana  tersebut  kini
          terpinggirkan dan cadangan emas aluvial yang menyokongnya sudah habis.
          Sementara itu gerakan Padri bersatu di sekitar Cangking, sebuah kota dataran
          tinggi yang menjadi kaya karena perniagaan kopi. Di sanalah, setelah beberapa
          konfrontasi yang penuh kekerasan, kaum Syattari pemberontak bisa dikatakan
          “merumuskan ulang” ajaran-ajaran mereka agar selaras dengan persaudaraan
          Naqsyabandiyyah yang lebih menonjol secara global. 5
              Agak aneh karena sumber-sumber Belanda dari 1840-an menggambarkan
          kaum Padri membawa tasbih, yang merupakan aksesori para Suf , bukan orang-
          orang Wahhabi (lihat Gambar 4).  Di sisi lain, adalah tindakan sembrono
                                       6
          untuk memberikan perhatian berlebihan pada pengamatan Belanda awal, yang
          sangat sering diambil dari catatan para petugas lapangan atau dari perbincangan
          dengan  para  informan  yang  fungsi  keagamaannya  kerap  disalahpahami
          oleh Belanda. Seorang cendekiawan penting dari 1840-an bergantung pada
          memoar Jenderal H.J.J.L. Ridder de Stuers (1788–1861), dilengkapi dengan
          wawancara dengan Tuanku Elok Kota Lawas, Angku Bendara Panjang dari
          Batipu  di  Baru,  dan  beberapa  “pendeta”.  Berdasarkan  informasi  semacam
          itu, Ridder de Stuers menulis mengenai perseteruan yang terjadi berdekade-
          dekade  sebelumnya  antara  propagandis  Padri  paling  bersemangat, Tuanku
          Nan  Rinceh  (w.  1832),  yang  dalam  serangan-serangannya  bersandar  pada
          “kitab suci f qh” melawan mantan gurunya, tokoh Syattari Tuanku Nan Tua
   64   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74