Page 72 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 72

REFORMASI DAN MELUASNYA RUANG MUSLIM  —  51


                    Kemudian, terdapat bukti mengenai murid-murid Da’ud. Di Trumon
               ada  guru  penguasa  setempat,  Raja  Bujang  (w.  1832/33)  dan  guru  putra
               Faqih  Saghir,  Ahmad  b.  Jalal  al-Din,  yang  kembali  ke  Cangking  sebagai
               seorang Naqsyabandi pada 1860-an.  Selain itu, bisa jadi Da’ud merupakan
                                              17
               pembimbing Isma‘il dari Simabur (Fort van der Capellen), yang belakangan
               dikenal  sebagai  Isma‘il  al-Minankabawi.  Menurut  B.J.O.  Schrieke  (1890–
               1945), guru pertama Isma‘il terbunuh oleh “kaum Padri” dan dimakamkan
               di  Solok.  Namun,  pada  1830-an,  Isma‘il  memelintir  puisi  Da’ud  untuk
               menyerang syekh Lubuk Ipoh. Pada awal 1850-an dia aktif merekrut anggota
               Naqsyabandiyyah di Singapura, bahkan mengibarkan bendera Utsmani yang
               konon dibawanya dari Mekah. 18
                    Naqsyabandi atau bukan, berbagai perbedaan yang menopang konf ik di
               Sumatra Barat akan diselesaikan dengan melibatkan Belanda yang memihak
               elite tradisional pada 1821. Hal ini menjadi latar bagi sebuah jihad di dataran
               tinggi melawan orang-orang asing. Sebelum Belanda bisa memulai operasi
               militer,  kesadaran  mengenai  tidak  bisa  diandalkannya  dukungan  Inggris
               membuat  mereka  menuntut  perdamaian  pada  1824.  Ini  bukan  berarti
               pertanda baik bagi kaum Padri, yang kehilangan jalur perniagaan mereka di
               pantai utara. Dengan dimulainya kembali peperangan setelah Perang Jawa
               (1825–30) usai, Belanda akan menghadapi sisa-sisa gerakan yang benar-benar
               membuat habis kekayaan. Bukti mengenai isolasi semacam itu jelas terlihat
               dalam kasus salah seorang pemimpin terakhirnya, Imam Bonjol (1772–1864),
               yang  diyakini  oleh  Belanda  telah  mengirimkan  emas  kepada  Raja  Bujang
               untuk ditukar senjata. Namun, Raja Bujang kehilangan dukungan lokalnya
               dan meninggal pada 1831.
                    Pada saat bersamaan Imam Bonjol mundur dari posisi garis kerasnya
               menentang penyimpangan lokal. Dinyatakan bahwa hal ini terjadi disebabkan
               oleh  berita  (sangat  basi)  mengenai  kekalahan  Wahhabiyyah,  tetapi  kita
               sudah  mendapati  rujukan  dalam  laporan  mengenai  pasukan  Bonjol  yang
               melantunkan  dzikr  dalam  pertempuran-pertempuran  yang  terjadi  sebelum
               kembalinya utusan yang dikirim ke Mekah. Dengan kekalahannya pada 1837,
               Belanda menyita setidaknya satu jilid yang menyatakan bahwa Bonjol selalu
               berminat pada eskatologi Suf  karena jilid itu memasukkan nukilan-nukilan
               dari Dala’il al-khayrat dan tulisan-tulisan al-Yaf ‘i, serta nasihat al-Qusyasyi
               mengenai seberapa sering sebuah dzikr tertentu harus dibaca. 19


               PERANG JAWA
               Sejauh  berkaitan  dengan  Belanda,  mengalahkan  tantangan  kaum  Padri
               harus  ditunda  ketika  Jawa,  jantung  imperium  Belanda  di  Asia,  terancam
               oleh sebuah pemberontakan Islam dengan skala yang jauh lebih besar. Pada
   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77