Page 77 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 77

56  —  INSPIRASI, INGATAN, REFORMASI


          tarekat  Suf   di  Babakan,  meski  dia  keliru  menggolongkan  risalah-risalah
          dogmatis  karya  al-Samarqandi  dan  al-Sanusi  sebagai  karya  mistisisme.
          Dia  juga  mengelompokkan  puisi  mistis  sebagai  ciptaan  Wali  Sanga,  yang
          digambarkannya sebagai para penyangkal akhirat. Tentu saja ketika menuliskan
          memoarnya, Kartawidjaja hanya punya sedikit waktu untuk para santri dan
          haji. Namun, dia tetap menghormati para Suf , yang “jalan hidupnya lebih
          baik daripada yang lain”, dan menegaskan bahwa tiga kelompok mereka ada
          di Jawa: Naqsyabandiyyah (yang diyakininya dipimpin di Mekah oleh ‘Abd
          al-Qadir  dari  Semarang,  jika  bukan  oleh  sang  wali  ‘Abd  al-Qadir  al-Jilani
          sendiri [lihat di bawah]), Syattariyyah, dan “Tarek Moehamaddia” (yang dia
          pikir merupakan bikinan Wali Sanga). 41
              Kartawidjaja benar mengenai adanya persaingan tiga pihak di kalangan
          Suf   Jawa,  meski  patut  diingat  bahwa  beberapa  pesantren  tertutup  bagi
          ketiganya. Penghindaran ajaran tarekat adalah sebuah ciri mencolok pesantren
                 42
          ‘Ubayda.  Namun, kadang terdapat hubungan yang kabur karena para guru
          tarekat, terutama mereka yang baru kembali dari Mekah, berusaha meyakinkan
          calon murid pesantren dengan menekankan ketepatan metode mereka dan
          mengklaim persetujuan dari penguasa Kota Suci. Naqsyabandiyyah tentu saja
          tidak  dipimpin  oleh  ‘Abd  al-Qadir  al-Jilani,  seperti  yang  keliru  dipikirkan
          Kartawidjaja, tetapi sebagian dari syekh-syekhnya biasanya memandang wali
          tersebut sebagai seorang mediator utama dalam ritual-ritual mereka. Mereka
          menekankan bahwa ritual-ritual tersebut lebih sering dipraktikkan di Mekah
          ketimbang ritual Syattariyyah. Juga terdapat beberapa petunjuk bahwa sebagian
          guru Naqsyabandi, yang membanggakan silsilah yang terentang ke belakang
          hingga Khalifah Abu Bakr dan tampaknya sangat sukses dengan sebuah kelas
          pedagang yang kaya, menghadapi penentangan dari jaringan perdikan-priayi,
          sebagaimana  mereka  sudah  dan  akan,  menghadapi  perlawanan  di  tempat-
          tempat lain di Nusantara. Pada 1855, misalnya, seorang “J.L.V.”, pengamat
          yang telah menulis kekayaan desa-desa perdikan, menggambarkan dampak
          “para imam” tertentu yang telah mengunjungi Mekah, sebagai berikut.

              Tersebar  di  antara  orang-orang,  terlebih  di  beberapa  desa  yang  berdekatan,
              ditemukan sekte yang mengikuti ajaran aboe bakar, seorang murid mohammad,
              yang  menyimpang  dari  Mohammedanisme  biasa  dalam  praktik-praktiknya.
              Mereka dikenang di kalangan orang lain dengan nama “doel”, yang maknanya
              tidak jelas bagi kita. Kita kerap mendapati sekte ini di bagian-bagian lain Jawa;
              mereka memiliki imam-imam sendiri dan tidak terlalu dihormati para imam
              Islam yang sebenarnya. Kita melihat mereka memiliki ikatan yang sangat kuat,
              dan wilayah utama yang membuat mereka berbeda dari Mohammedan biasa
              adalah pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu yang hanya diketahui
              mereka, agar mereka tidak diganggu atau ditekan oleh pemerintah Pribumi.
              Mereka berkumpul, lelaki dan perempuan, menyibukkan diri dengan bernyanyi
   72   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82