Page 82 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 82

REFORMASI DAN MELUASNYA RUANG MUSLIM  —  61


               yang lebih baru menyusupi jejaring priayi, hubungan dengan Timur Tengah
               yang menopang para guru tarekat-tarekat tersebut, sebagaimana bakal kita
               lihat, menghasilkan tingkat ketegangan tertentu dalam masyarakat Belanda.
               Para  cendekiawan  metropolitan  seperti  Salomon  Keijzer  (1825–68)  dari
               Delft menunjuk Kairo sebagai sumber perubahan pada 1860-an, mungkin
               ketika mengetahui bahwa silabus pesantren pada saat itu memasukkan sebuah
               komentar atas Umm al-barahin yang disusun oleh Ibrahim al-Bajuri, Syekh al-
               Azhar antara 1847 dan 1860.  Sebuah pondok khusus sudah didirikan untuk
                                        56
               orang-orang  Jawi  di  Kairo,  tetapi  pondok  tersebut  dihuni  oleh  campuran
               murid-murid dari Arabi Selatan dan “India”. Enam murid yang pada 1871
               menjadi penghuni pergi pada 1875, dan tidak akan ada lagi kehadiran Jawi
               yang menonjol hingga 1880-an, yang merupakan poin yang akan kita bahas
               kembali. 57
                    Sedikit  orang  yang  setia  menuju  Kairo  pada  tahun-tahun  itu—di
               antaranya Nawawi dari Banten dan Ahmad al-Fatani (lihat di bawah)—pusat
               yang  penting  tetaplah  Mekah.   Peziarah  dan  calon  cendekiawan  dengan
                                          58
               jumlah  yang  terus  bertambah  berdatangan  ke  Hijaz.  Transportasi  kapal
               uap sudah tersedia dengan rute yang relatif aman. Selama tur ke pesantren-
               pesantren pesisir utara pada 1885, L.W.C. van den Berg mencatat bahwa dia
               nyaris tidak bertemu dengan ulama yang belajar di Kairo. Mekah adalah kiblat
               yang  sebenarnya.  Para  cendekiawan  yang  menghabiskan  waktu  bertahun-
               tahun di sana umumnya fasih berbahasa Arab dan, dalam pandangan van den
               Berg, adalah “orang-orang maju”. 59
                    Ketika kembali, banyak haji tertarik menjadi cendekiawan-cendekiawan
               Jawi  terkemuka  atau  mendukung  perkumpulan-perkumpulan  para  guru
               Naqsyabandi.  Sebaliknya,  pada  1899  hanya  ada  seorang  haji  dari  seluruh
               pengikut  Nur  Hakim  di  Banyumas  yang  diperkirakan  mencapai  tiga  ribu
               orang. Baik Nur Hakim maupun para wakilnya tidak pernah ke Mekah.
                                                                               60
               Tampak bahwa haji menempatkan diri seseorang di atas rekan-rekan mereka.
               Dalam sebuah puisi satir, ditulis pada 1867, Raden Muhammad Husayn dari
               Krawang berkali-kali mengingatkan putra-putra kalangan elite “Sunda dan
               Jawa” mengenai beban f nansial haji, mengenai bahaya rampok di jalan, atau
               lebih buruk lagi berakhir menjadi kuli di Singapura, Jepang, atau Malabar.
               Sementara  itu,  dia  menasihati  beberapa  orang  yang  berhasil  kembali  agar
               menekuni  kajian  agama  dan  tidak  bertindak  layaknya  guru  bagi  seluruh
               masyarakat. 61
                    Entah  mereka  kembali  sebagai  orang  terpelajar  atau  terhormat,  jelas
               bahwa sejumlah besar orang yang terlibat dalam hubungan baru dan lebih
               intensif  dengan  Mekah  ini  merajut  beragam  sekolah  Islam  di  kawasan  ini
               menjadi lebih erat.  Pertumbuhan fenomenal terjadi di pesantren-pesantren
                               62
               Jawa, diperkuat oleh kehadiran para ahli tata bahasa dan ilmu syair di Madura,
   77   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87