Page 80 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 80

REFORMASI DAN MELUASNYA RUANG MUSLIM  —  59


                               48
               permanen di sana.  Lokasi pasti pusat Suf  adalah di bukit bernama Jabal Abi
               Qubays, yang sudah menjadi lokasi beberapa pondok.
                    Pada 1870-an kunjungan kepada tokoh-tokoh Khalidi seperti Sulayman
               Afandi (alias Sulayman Pasha atau Sulayman Zuhdi) kelahiran Dagestan akan
               menjadi bagian penting dalam perjalanan ke Mekah bagi banyak Jawi. Sebagai
               konsekuensinya,  Khalidiyyah  menemukan  ruang  dalam  jejaring  pesantren
               dan istana-istana Jawi yang ada. Bisa dikatakan bahwa mereka telah menjadi
               ortodoksi Mekah yang baru. Pada awal 1880-an terdapat kekhawatiran di
               keraton Surakarta ketika disadari bahwa para pangeran sendiri tidak kebal
               terhadap argumen-argumen mereka.
                    Agen  dalam  insiden  ini  adalah  ‘Abd  al-Qadir  dari  Semarang,  yang
               memulai  kariernya  sebagai  dai  di  masjid  utama  kota  tersebut,  dan  yang
               dikacaukan  Kartawidjaja  sebagai  ‘Abd  al-Qadir  al-Jilani.  Dia  menjadi
               wakil Khalidiyyah yang aktif ketika berada di Mekah untuk haji keduanya,
               kemudian kembali ke Semarang sebagai imam terkemuka di sana dan mulai
               menunjuk wakil-wakilnya sendiri. Pada 1881 dia pergi ke Solo, tempat dia
               menarik  perhatian  putra-putra  Susuhunan.  Dia  menganugerahkan  jubah
               kehormatan kepada salah seorang pangeran sebagai wakilnya dan tinggal di
               rumah  seorang  pangeran  lain,  tempat  dia  mengeluarkan  topi  dan  pakaian
               untuk murid-murid potensial lainnya. Baru ketika Bupati mengetahui perkara
               ini, Susuhunan menekan tarekat tersebut. ‘Abd al-Qadir kemudian ditangkap
               di Semarang. 49



               PARA PESAING LOKAL
               Seperti  yang  akan  kita  lihat  (di  Bab  8),  catatan-catatan  yang  dibuat  oleh
               Snouck  Hurgronje  pada  sekitar  1890  menunjukkan  bahwa  banyak  tokoh
               Naqsyabandi  Jawa  menjadi  penganut  Syattariyyah  sebelum  petualangan
               mereka ke luar negeri. Tetapi, mereka berbeda dari kaum proto-Naqsyabandi
               di  Sumatra  karena  ketika  kembali  mereka  kerap  mengajarkan  ritual-ritual
               Khalidiyyah bersama-sama dengan ritual Syattariyyah. Selain itu, para syekh
               Syattari dan Naqsyabandi menghadapi lawan yang sama berupa ajaran-ajaran
               yang kerap dikaitkan dengan Wali Sanga. Mereka ini adalah para penganut
               yang  oleh  Kartawidjaja  disebut  “Tarek  Moehamaddia”,  meskipun  mereka
               lebih menyukai nama “Akmaliyyah” sebagai sekadar sebuah tingkatan dalam
               sebuah hierarki praksis bayangan.
                                            50
                    Pada pertengahan abad khususnya di Jawa Tengah, guru-guru seperti
               Hasan Mawlani (alias Kiai Lengkong) dan muridnya Nur Hakim berhasil
               memperoleh pengikut dalam jumlah besar. Nama pertama, yang pesantrennya
               berada di sekitar Kedu, di Kuningan, memiliki metode yang sangat keras dalam
               mengajar murid-muridnya. Menurut Jan Isaäc van Sevenhoven (w. 1841),
   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84   85