Page 78 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 78

REFORMASI DAN MELUASNYA RUANG MUSLIM  —  57


                    sesuai  irama  sejenis  drum  pribumi  yang  disebut  “rebana”,  dengan  terus-
                    menerus berseru “La il Allah Illalah!” dan menggerakkan tubuh bagian atas
                    maju-mundur, sampai sebagian besar mereka memasuki keadaan mabuk atau
                    sangat gembira, melompat ke kiri dan kanan, merangkak, duduk, berbaring,
                    dengan guncangan-guncangan kuat dan gerakan-gerakan bingung, kemudian
                    mereka  akhirnya  jatuh  pingsan.  Selama  itu,  lelaki  dan  perempuan—bahkan
                    yang  paling  tua,  yang  kadang  kesulitan  untuk  berdiri—bergiliran  menari
                    dengan cara pribumi (tandak). Mereka yang jatuh pingsan dianggap beruntung
                    karena dalam kesempatan inilah mereka mendapatkan visi akan Tuhan. Mereka
                    dibaringkan di pinggir, dan dilumuri dengan sejenis air kuning dari kunyit.
                    Perlahan-lahan mereka kemudian sadar dalam keadaan sangat kelelahan, dan
                    berusaha mulai lagi dari awal.

                    Setelah  mengesampingkan  praktik-praktik  mereka,  sang  pengamat
               kemudian menggambarkan bagaimana mereka dipandang oleh pihak-pihak
               “ortodoks” tertentu:

                    Sekte  ini  semakin  menyebar  ke  seluruh  populasi,  meskipun  pertemuan-
                    pertemuannya, sebagaimana digambarkan di atas, sangatlah jarang. Kebencian,
                    yang dipelihara oleh para pemimpin dan imam Islam ortodoks terhadap kelompok-
                    kelompok menyimpang ini, mengakibatkan mereka tidak dipandang terhormat
                    oleh  semua  orang  ...  jika  mereka  dicurigai  melakukan  satu  atau  lain  hal  yang
                    bertentangan dengan tatanan yang berlaku, hal itu akan sangat cepat diketahui
                    dan tak akan berhasil. Dalam hal-hal lain, perilaku mereka tidaklah menonjol dan
                    tidak terlalu aneh sehingga pemerintah Eropa membiarkan mereka dan sekadar
                    mengawasi aktivitas mereka. Belakangan ini, banyak dari mereka yang beralih ke
                    Islam ortodoks sehingga perlahan-lahan punah dan tidak lagi ada. 43
                    Misionaris  Samuel  Eliza  Harthoorn  (1831–83)  juga  menunjuk  pada
               keberadaan sebuah sekte di Malang, Jawa Timur, yang secara mengejek disebut
               pasek dul atau “Dul yang penuh dosa”. Sekte-sekte semacam itu dikaitkan
               dengan Wong Birai yang antinomi, yang digambarkan dalam Serat Centhini
               sebagai peserta dalam perkumpulan-perkumpulan orgy, dan dengan seorang
               guru Arab bernama ‘Abd al-Malik yang dimakamkan di Mantingan, dekat
               Jepara.  Sementara  identif kasi  dengan  ‘Abd  al-Malik  tampaknya  mungkin,
               kolega Harthoorn, Carel Poensen (1836–1919), secara eksplisit memisahkan
               Wong Birai (yang disebutnya Santri Birai) dari Dul yang sektarian, meski
               dia  mengklaim  bahwa  mereka  sama-sama  dianggap  sebagai  ahli  bidah.
               Bagaimanapun,  kaum  Naqsyabandi  di  sekitar  Madiun  barangkali  adalah
               orang Jawa pertama yang mulai melabeli para tetangga mereka yang tak taat
               aturan sebagai wong abangan, berkebalikan dengan diri mereka sendiri kaum
               putihan yang benar-benar tanpa noda. 44
                    Meski terdapat permusuhan dan harapan yang jelas dari para pengamat
               semacam  itu  pada  pertengahan  abad,  Naqsyabandiyyah  akan  berkembang
   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83