Page 73 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 73

52  —  INSPIRASI, INGATAN, REFORMASI


          1825 putra mantan Sultan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro (sekitar 1785–
          1855), mengumpulkan ribuan “orang putihan” yang sadar agama di pulau
          itu untuk melawan Belanda dan Sultan yang masih remaja. Terdapat banyak
          faktor  yang  mengakibatkan  konf ik  ini,  terutama  penjarahan  Yogyakarta
          oleh  Inggris  pada  1812,  meningkatnya  serbuan  Belanda  setelahnya,  dan
          pelembagaan pajak pertanian oleh orang-orang Tionghoa. Namun, tidaklah
          akurat mengklaim bahwa perlawanan itu didasarkan berpuluh-puluh tahun
          kebencian di pedesaan karena setelah perjanjian Giyanti 1755 sebagian besar
          wilayah pedesaan teramati damai. Hanya terjadi sedikit wabah penyakit dan
          populasi pun bertambah, begitu pula populasi kelas petani yang merdeka.
          Kesejahteraan  ini  mendukung  bertambahnya  jumlah  sekolah,  yang  para
          gurunya kemungkinan besar sangat ingin agar lembaga mereka diklasif kasikan
          sebagai perdikan. 20
              Pangeran  Diponegoro  sejak  awal  terkenal  dengan  kesalehannya.
          Kakek  buyutnya  adalah  seorang  guru  agama  (kiai)  dari  Sragen.  Sebagian
          besar  masa  mudanya  dihabiskan  bersama  putri  sang  guru,  yang  tanahnya
          di Tegalrejo dia warisi.  Pangeran Diponegoro sangat suka menyendiri dan
                             21
          sering menghindari kewajibannya untuk hadir secara rutin di keraton. Dia
          sering mengunjungi pemakaman Imogiri, yang diklaimnya telah mengalami
          komunikasi  mistis  dengan  Sunan  Kalijaga.  Sikapnya  itu  sama  sekali  tidak
          membuat  sang  pangeran  tidak  diterima  di  keraton.  Usaha  menjauh  itu
          baru  terjadi  ketika  dia  secara  sengaja  menentang  otoritas  Belanda  dengan
          menolak  mengizinkan  pembangunan  jalan  baru  yang  melewati  tanahnya.
          Setelah terjadi pertempuran kecil, Diponegoro mundur untuk menghimpun
          kekuatan. Ribuan orang bergabung dengannya, termasuk orang-orang Bugis
          dari Sulawesi. Pengikutnya yang paling menonjol berasal dari kalangan santri
          perdikan, di antara mereka yang terkemuka adalah Kiai Mojo dari Pajang
          (sekitar  1792–1849),  guru  putra  Diponegoro.   Setelah  meraih  beberapa
                                                   22
          kemenangan, Diponegoro perlahan-lahan mulai tertekan. Salah satu pukulan
          utama  terjadi  pada  November  1828  ketika  Kiai  Mojo  ditangkap  Belanda
          dan diasingkan ke Manado. Diponegoro akhirnya tertangkap pada 1830 dan
          dibuang ke Makassar.
              Kekalahan  Diponegoro  membuat  kerajaan  di  Jawa  Tengah  semakin
          terikat  dalam  kekuasaan  Belanda  dan  menjauh  dari  pengaruh  Islam  yang
          eksplisit. Istana pesaing di Solo bahkan membuat olok-olok yang mengejek
          Diponegoro  karena  bergaul  dengan  “sampah”  semisal  kaum  santri,  dan
          sebagian  cendekiawan  setelahnya  kadang-kadang  bisa  disalahkan  karena
          memiliki asumsi bahwa keraton dan pesantren selalu bertentangan. Kiai Mojo
          bisa  jadi  kecewa  setelah  mengetahui  bahwa,  setelah  mengibarkan  bendera
          jihad,  Diponegoro  justru  lebih  tertarik  untuk  mendirikan  sebuah  negara.
          Namun, kepedulian mendalam sang pangeran terhadap Islam seperti yang
   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78