Page 74 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 74

REFORMASI DAN MELUASNYA RUANG MUSLIM  —  53


               ditanamkan  oleh  keluarganya,  dan  seorang  guru  Suf   awal  yang  mungkin
               berasal dari Sumatra, Kiai Taftayani, tidak bisa diabaikan.
                                                                23
                    Tentu saja, kita tidak boleh mengasumsikan bahwa jihad adalah monopoli
               Wahhabi, atau terkejut karena buku catatan Diponegoro di Makassar memuat
               doa  yang  berkaitan  dengan  Syattariyyah  dan  Naqsyabandiyyah.   Seorang
                                                                       24
               keturunan Diponegoro yang mengunjungi Manado pada abad kedua puluh
               tampaknya lebih terkejut karena Kiai Mojo adalah seorang Syattari bukannya
               Naqsyabandi  atau  Qadiri.   Pastinya  koleksi  buku  Diponegoro  tidak
                                       25
               memenuhi standar Wahhabi, dan Kiai Mojo berperilaku dengan cara yang
               agak tidak Wahhabi, seperti menggunakan para pelayan untuk memegangi
               ujung jubah putihnya dan payung emas ketika berjalan. 26
                    Tampaknya  Diponegoro  merupakan  perwujudan  apa  yang  disebut
               Ricklefs  “sintesis  mistis”.  Bahkan,  terdapat  pasase  dalam  buku  catatannya
               yang secara tidak langsung merujuk pada pengalaman ekstatik. Kita mungkin
               bertanya-tanya apakah Diponegoro menghubungkan kegagalan akhirnya pada
               sebuah momen kelalaian tertentu ketika, dirinya dikuasai oleh manifestasi
               apa yang diyakininya sebagai Kehadiran Ilahiah, “dia lalai tidak memberikan
               penghormatan  [kepada-Nya]”.   Bagaimanapun,  ketika  Diponegoro
                                           27
               mengibarkan panji-panjinya, tampaknya ada seruan yang disengaja terhadap
               kenangan mengenai Sultan Agung sebagai seorang Suf  dan bahkan mungkin
               terhadap kesan mengenai ortodoksi Mesir-Utsmani yang sezaman. Penyebutan
               gelar  “Ali  Basah”  terhadap  komandan  lapangannya  bisa  jadi  merupakan
               sebuah rujukan langsung kepada Muhammad ‘Ali Pasha, yang pasukannya
               baru saja mengalahkan Wahhabiyyah. Begitu pula, gelar Kalipat Rasululah
               dan Kabirulmukminin yang disandangnya, serta nama “Ngabdulhamid”, bisa
               dianggap sebagai sebuah klaim kesamaan dengan ‘Abd al-Hamid I (1774–89),
               sultan Utsmani pertama yang menggunakan gelar Khalifah. 28
                    Akan tetapi, sebagaimana sang sultan, Diponegoro ditakdirkan untuk kalah
               dalam perang. Menilai kekalahan Diponegoro, Peter Carey menulis, “sebuah era
               dalam sejarah Jawa ditutup. Kepercayaan diri komunitas-komunitas keagamaan
               dihancurkan, Eropa menggantikan Arabi sebagai kekuatan asing yang dominan
               di Jawa, dan kemerdekaan politik raja-raja Jawa Tengah berakhir”.  Meskipun
                                                                      29
               Diponegoro  adalah  pangeran  terakhir  yang  berusaha  menyatukan  sebuah
               aliansi besar dengan kaum putihan Jawa yang religius, banyak kiai yang terus
               melanjutkan  dialog  dengan  Mekah  tanpa  merujuk  kepada  para  sultan  yang
               segera berlalu atau pada berbagai dekrit dari Den Haag.



               PENJELASAN LEBIH JAUH MENGENAI PONDOK
               Pasca-Perang Padri dan Perang Jawa, ulama semakin menjauh dari keraton.
               Alih-alih membuat lembaga-lembaga Islam mengalami penurunan, aneksasi
   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79