Page 114 - Layla Majnun
P. 114

dalam emosimu sendiri sehingga kau tak terpikir bahkan untuk memberi-
            kan penghormatan terakhirmu kepadanya. Kau sungguh makhluk menye-
            dihkan! Seorang putra sepertimu lebih baik mati daripada hidup; dengan
            demikian setidaknya rasa dukacita dari mereka-mereka yang menyayangi-
            mu akan memiliki arti.”
                   Kecaman-kecaman sang pemburu yang penuh semangat itu me-
            nusuk jantung Majnun bagaikan belati merah yang panas. Urat-urat dalam
            tubuhnya tiba-tiba bagaikan senar-senar harpa yang berada di tangan
            musisi gila: kepalanya miring ke satu sisi, tangannya memukul-mukul udara
            dan kakinya tertekuk di bawahnya. Dengan erangan kesedihan yang
            begitu menyayat, ia terjatuh, membentur-benturkan kepalanya berkali-
            kali di bebatuan hingga darah mengaliri matanya dan bersatu dengan
            airmatanya.
                   Perjalanan menuju makam ayahnya merupakan perjalanan yang
            sangat berat, berlangsung selama beberapa hari dan malam dan memer-
            lukan perjuangan besar, namun Majnun tidak peduli. Melihat nisan ayah-
            nya, kesedihannya semakin besar dan membuatnya menangis terisak-
            isak di kaki makam ayahnya. Sang pria tua itu tak dapat menyelamatkan-
            nya, tapi setidaknya ia telah merasakan kesedihan putranya. Kepedihan
            Majnun telah menjadi kepedihannya juga dan airmata mereka telah
            bersatu menjadi sebuah sungai. Namun kini airmata Majnun harus menga-
            lir sendirian.
                   Hancur karena kesedihan, Majnun mencakar-cakar tanah dan
            memohon jawaban atau pertanda dari ayahnya. Ia menjerit dengan suara
            yang sangat menyayat hati, “O, Ayah! Di manakah ayah sekarang? Selama
            bertahun-tahun ayah menyayangiku, merawat serta mendukungku, dan
            sekarang beginilah akhirnya! Ayah adalah batu kekuatanku, kini Ayah
            hanyalah debu; Ayah adalah tongkat kayuku, kini Ayah adalah abu. Kepada
            siapa Aku mengadu, kini setelah Ayah pergi dari kehidupanku dan mema-
            suki alam kematian? Ayah selalu ada untukku, meskipun yang kuberikan
            selama ini hanyalah penderitaan dan kekecewaan. Andai saja aku dapat
            membahagiakan Ayah dengan menjadi putra yang selalu Ayah impikan;
            tapi aku justru menyiksa Ayah dan mengirimkan Ayah ke kematian yang
   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118   119