Page 115 - Layla Majnun
P. 115

terlalu dini. Dan kini aku tersiksa oleh perpisahan ini, oleh kesunyian yang
              tak dapat kujelaskan yang kini kurasakan setelah kepergian Ayah. Tanpa
              Ayah aku tak berarti apa-apa, mengapa kubiarkan Ayah pergi sendirian?
              Jangan hukum aku, Ayah, karena aku tahu benar bahwa aku telah menge-
              cewakan Ayah. Dan jika kuhitamkan wajahku dengan tanah dari makam
              Ayah, hal itu kulakukan bukan hanya karena aku ingin berada di dekatmu
              namun karena aku ingin menyembunyikan rasa maluku.”
                     “Aku tahu bahwa Ayah hanya menginginkan yang terbaik untukku,
              tapi aku justru menolak Ayah dan menjauhkan diriku dari pertolongan
              Ayah. Saat Ayah bersikap lemah lembut dan mengkhawatirkanku, aku
              justru bersikap keras dan tidak berperasaan; ketika Ayah menawarkan
              kehangatan, aku membalasnya dengan dingin. Seribu kali Ayah menderita,
              namun tak sekalipun aku mendatangi Ayah. Ayah membuatkan sebuah
              ruangan untukku, menyiapkan tempat tidur untukku bersitirahat, namun
              aku menolaknya. Ayah menawarkanku sebuah meja yang penuh dengan
              hidangan lezat, namun yang kulakukan justru menendang meja itu. Aku
              menyadari semua ini, Ayah, dan aku tak dapat mengatakan betapa menya-
              kitkannya hal itu. Itulah yang tertinggal kini: perasaan sakit tanpa penyem-
              buhan, penyesalan tanpa akhir, kesedihan tanpa penghiburan. Ayah mencip-
              takan relung di sudut hati Ayah untukku: kini setelah takdir menutup
              relung itu, di sinilah aku berada berusaha untuk menggapai relung itu!
              Bagaimana mungkin semuanya bisa terjadi! Di satu hari kita masih bersa-
              ma dan kini Ayah telah pergi – tapi aku masih di sini! Bagaimana bisa?
              Ya Allah, betapa besarnya dosa-dosaku! Betapa besarnya rasa bersalahku!
              Ya Allah, semua ini salahku dan kesedihan ini adalah milikku!”
                     Dan begitulah ratapannya, sambil mencakar-cakar dadanya
              dengan buas seolah berusaha untuk mengelupas kulitnya dan mengambil
              jantungnya dengan kedua tangannya. Malam datang dan kegelapan menye-
              limutinya dalam keputus-asaannya, hitam di atas hitam. Saat pagi menje-
              lang, tatkala matahari beranjak naik menuju langit berwarna lembayung
              muda dan menebarkan debu-debu keemasan di puncak pegunungan,
              Majnun meninggalkan makam ayahnya. Dengan sedih, ia berjalan kembali
              menuju gua serta Lembah Najd.
   110   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120