Page 111 - Layla Majnun
P. 111

mengajakku kembali. Tapi matahariku juga akan segera terbenam, karena
              aku telah dibawa menuju kematian dan kenyataan itu sudah tak dapat
              ditawar-tawar lagi; bahkan bisa dikatakan jika kematian itu berada dalam
              diriku sendiri, memakanku dari dalam. Jika segalanya sudah terlambat,
              maka sudah terlambat bagi kita berdua. Siapa yang tahu, mungkin keper-
              gianku justru mendahului Ayah. Bagian dalamku telah mati dan aku telah
              membunuh Ayah dengan kesedihan. Jadi jangan biarkan yang mati mena-
              ngisi yang mati.”
                     Melalui kata-kata itu, si tua Sayyid memahami dengan jelas bahwa
              Majnun bukan lagi miliknya. Si bodoh yang gila ini adalah tawanan yang
              terperangkap dalam benteng cinta yang gelap, begitu kuat ikatannya se-
              hingga tak ada yang dapat membebaskannya.
                     Si pria tua itu menggenggam tangan Majnun dan berkata, “Putraku
              tersayang! Kau memakan dirimu sendiri dalam kesedihanmu dan kesedihan
              itu memakan darahmu. Apa yang harus kulakukan denganmu? Kau adalah
              rasa sakitku – namun kau juga adalah kebanggaanku. Sangatlah jelas bahwa
              tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk membujukmu kembali pulang
              denganku. Karena itu aku akan pergi; aku akan meninggalkanmu dan kem-
              bali pulang, lalu aku akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
                     “Genggamlah tanganku erat-erat, Putraku! Lihatlah bagaimana
              airmata menetes dan mengalir menjadi sungai. Airmata ini akan mem-
              bersihkanku sehingga aku akan memulai perjalanan dalam keadaan segar.
              Pegang aku erat-erat, sayangku! Menit-menit terakhir bersamamu ini
              bagaikan persediaan makanan yang cukup untuk perjalananku. Aku telah
              mengepak barang-barangku dan telah siap untuk berangkat. Bergerak,
              bergerak – selama hidupnya manusia harus bergerak! Dan begitulah se-
              harusnya.”
                     “Selamat tinggal, Putraku! Takkan pernah lagi mataku melihatmu
              di dunia ini. Selamat tinggal! Kapal yang menungguku telah bersiap-siap
              untuk berlayar dan takkan pernah kembali lagi. Sungguh aneh, aku merasa
              bahwa jiwaku telah terbebas! Selamat tinggal, Putraku tercinta! Takkan
              pernah lagi kita bertemu di dunia ini!”
   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116