Page 124 - Layla Majnun
P. 124
Tapi tentu saja, hal itu tak terjadi. Manusia mungkin tak selalu
membalas kebaikan dengan kebaikan, tapi anjing – seberapa pun buasnya
mereka – melakukannya. Begitu mereka mengenali si pria muda itu seba-
gai sosok yang telah membawakan makanan serta mencurahkan perha-
tian kepada mereka, mereka berlarian mendekatinya dan mulai menjilati
tangan serta wajahnya sebagai wujud sayang mereka terhadapnya.
Lalu mereka duduk dengan tegak di sisinya, bersiap-siap untuk
melindunginya dari segala bahaya. Bahkan tulang terlezat ataupun daging
terempuk yang dilemparkan oleh para penjaga mereka tetap tak dapat
menjauhkan mereka dari pria muda itu.
Para penjaga Raja memandangnya dengan takjub. Mereka
datang untuk melihat ceceran darah; tapi yang mereka lihat justru pertun-
jukan mengharukan tentang kasih sayang yang terjalin antara manusia
dengan hewan buas.
Tak mampu mempercayai apa yang mereka lihat, para penjaga
berteriak-teriak pada anjing-anjing itu, mendorong mereka untuk menye-
rang pria muda itu, namun jeritan para penjaga itu tak diindahkan oleh
para anjing.
Saat matahari mulai terbenam di pegunungan, menutupi puncak-
puncak pegunungan salju itu dengan mantel merah keemasan, sang Raja
duduk di singgasananya, kemarahannya kini berkurang.
Bahkan, ia kini merasakan penyesalan karena telah bertindak
secara ceroboh. Ia telah menghancurkan hidup seorang pria muda tanpa
alasan yang jelas.
Tentu saja ia tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi di kandang
anjingnya, dan tak ada seorang pun anggota istana yang berani memberi-
tahunya.
Saat malam menjelang, ia menjadi sangat bingung sekali. “Me-
ngapa?” jeritnya, suaranya menggema. “Mengapa kuperintahkan agar
pria muda itu dilemparkan ke kandang anjing? Mengapa aku bertindak
dengan begitu ceroboh? Pergilah! Pergilah sekarang dan cari tahu kabar-
nya. Pergi dan lihatlah apa yang telah terjadi dengan pria malang itu.”