Page 126 - Layla Majnun
P. 126
sebelumnya. “Katakan padaku, pria muda,” katanya, “Mengapa anjing-
anjingku tidak membunuhmu? Apa rahasiamu?”
Begitu si pria muda itu menceritakan semuanya, mata sang Raja
terbeliak lebar dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tak per-
caya.
Si pria muda menjawabnya, “Memang benar bahwa anjing-anjing
Tuan telah menjadi teman-teman saya dan saya terselamatkan hanya ber-
kat beberapa potong tulang dan daging. Saya menunjukkan kebaikan
kepada mereka dan mereka membalasnya dengan menyelamatkan nyawa
saya.”
“Tapi bagaimana dengan Anda, Yang Mulia? Saya telah melayani
Anda dengan setia selama sepuluh tahun – sebagian besar dari hidup saya
bahkan, dan Anda mengetahuinya dengan baik. Meskipun begitu Anda
tak ragu untuk membiarkan saya mati oleh anjing-anjing Anda hanya karena
kesalahan ringan saya yang membuat Anda tak senang.
“Hanya karena saya membuat Anda kesal selama beberapa saat,
Anda mengeluarkan perintah agar saya dibunuh! Sekarang Anda katakan
pada saya, siapa yang menjadi teman terbaik: Anda ataukah anjing-
anjing buas dari neraka itu? Siapa yang layak menerima hormat saya:
Yang Mulia ataukah iblis-iblis berbentuk anjing itu?”
Si pria muda itu berbicara dengan berani dan terus terang, namun
sang Raja tidak menjadi marah, ia justru merendahkan hatinya.
Sangatlah jelas bahwa seluruh kejadian itu merupakan sebuah
ujian dari Allah untuk semua umat manusia, dan dari kisah tersebut ada
sebuah pelajaran yang dapat dipetik. Sang Raja memutuskan untuk tak
lagi bertindak ceroboh dengan melemparkan orang-orang tak bersalah
ke anjing-anjing buasnya; ia akan berusaha untuk menjinakkan anjing-
anjing buas itu dengan jiwanya.
Tapi kita telah melangkah terlalu jauh. Apa kaitan kisah itu dengan
Majnun? Ia berbuat baik kepada hewan-hewan itu bukan karena ia takut
kepada mereka, tapi karena kebaikan merupakan bagian dari dirinya;
ia tak dapat menolak untuk memperlakukan mereka dengan penuh hormat
dan kasih sayang.