Page 49 - Layla Majnun
P. 49

jatuh dalam perangkap kecantikannya, begitu dahsyatnya mantera yang
              dimilikinya.
                     Walaupun sihirnya bekerja kepada pria-pria itu, namun ia tak
              dapat melakukan apapun untuk dirinya sendiri. Ia memang tampak bersemi
              di permukaan, namun jauh di dalam hatinya ia mengeluarkan airmata
              darah. Sedari matahari terbit hingga terbenam, ia terus mencoba mencari
              kekasihnya Majnun, secara rahasia. Lalu, di tengah malam, saat semua
              orang tidur terlelap, ia akan memanggil-manggil nama kekasihnya dalam
              desahan. Airmata tak pernah berhenti mengalir di pipinya, ia hanya ter-
              tawa untuk menyembunyikan kesedihannya.
                     Sejak perpisahan mereka, api hasrat telah terbakar di dalam hati
              sepasang kekasih itu. Namun Layla menyembunyikan nyala api itu dan
              tak membiarkannya mengeluarkan asap. Ketika seseorang sedang seka-
              rat, sang dokter biasanya memegang sebuah cermin di mulut si pasien
              untuk mengetahui apakah ia masih bernapas. Dan Layla juga memiliki
              cermin itu, namun cermin itu adalah jiwanya sendiri yang selalu menanya-
              kan keberadaan kekasihnya, Majnun. Tak ada seorang pun yang dapat ia
              percayai, jadi setiap malam ia hanya menceritakan pikiran-pikiran terda-
              lam serta rahasianya kepada bayangannya sendiri. Di satu sisi terdapat
              lautan airmata; namun di sisi lain, terdapat api cinta yang membara untuk
              kekasihnya. Layla berdiri di antara mereka seperti pari, roh yang melayang-
              layang di antara api dan air.
                     Meskipun kesedihan telah menggerogoti jiwanya, ia menyem-
              bunyikan kesedihannya dan tak bersedia menceritakannya kepada siapa
              pun. Kadangkala, ketika semua orang sedang tertidur, cahaya rembulan
              membawanya ke pintu masuk tendanya. Di sana ia akan berdiri terpaku,
              menatap jalanan, menanti –namun siapakah yang ia nantikan? Apakah
              ia menanti datangnya seseorang yang membawakan pesan untuknya dari
              kekasihnya? Apakah ia berharap datangnya seorang pemberi selamat
              untuk menyampaikan salam dari jauh? Apapun yang ditunggunya, tidak
              kunjung tiba jua. Lalu ia membayangkan udara malam itu sebagai sang
              penyampai pesan yang membawa desahan kekasihnya dari Pegunungan
              Najd, sementara itu setiap awan mendung ia bayangkan sebagai sang
   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53   54