Page 52 - Layla Majnun
P. 52

penuh percaya diri. Dan pada cabang pohon teratas, di atas burung per-
            kutut, duduklah burung bulbul, bersenandung lagu cinta.
                   Layla datang ke taman itu bersama teman-temannya untuk
            menikmati nyanyian burung-burung dan juga untuk bermain-main di
            antara bunga-bunga, bagaikan gadis-gadis cantik yang menikmati keindah-
            an taman firdaus. Apakah memang keinginannya, untuk beristirahat seje-
            nak pada bayangan mawar merah setelah permainannya dengan teman-
            temannya usai? Apakah memang keinginannya untuk membuat rerum-
            putan menjadi semakin gelap karena tertutup bayangannya, ataukah ia
            hanya ingin menikmati waktu dengan ditemani oleh bunga bakung dan
            tulip? Ataukah ia datang sebagai ratu yang hadir untuk memberikan peng-
            hargaan bagi kerajaan dari taman yang luar biasa indah ini?
                   Tidak, ia tidak menginginkan semua ini. Ia hanya ingin, setelah
            permainan usai, untuk duduk dan berkeluh kesah, seperti mereka-mereka
            yang hatinya terluka oleh cinta. Ia ingin berbicara dengan si burung bulbul,
            bercerita kepadanya tentang rahasia serta pikiran terdalamnya. Dan mung-
            kin saja angin akan menyampaikan salam dari satu-satunya orang yang
            ia cintai dan tangisi……..
                   Ia mencoba mencari rasa nyaman di taman itu, karena ia meng-
            anggap taman itu sebagai cermin dari ketampanan kekasihnya dan tak
            lebih dari itu. Ia bahkan berharap bahwa cermin itu akan menunjukkan
            jalan menuju kekasihnya……..
                   Tentu saja tak seorang pun dari teman-temannya mengetahui
            apa yang dirasakan serta dipikirkan oleh Layla. Selama beberapa saat me-
            reka bermain di antara bunga mawar, namun kemudian, ketika mereka
            semua duduk untuk berisitirahat di sudut terpencil taman, Layla terus
            berjalan dan memilih untuk duduk di bawah pohon yang jauh dari teman-
            temannya. Di sanalah ia menumpahkan segala kesedihannya.
                   “Kekasihku tercinta,” keluhnya, “apakah memang benar kita di-
            takdirkan untuk bersama? Betapa mulianya dirimu dan betapa bernafsunya
            hatimu! Betapa aku sedih setiap kali memikirkan bahwa dulu hati kita
            pernah bertaut, kini belati tajam memisahkan hati kita. Andai saja kau
            bisa berjalan melewati gerbang dan masuk ke taman ini, maka, cintaku,
   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57