Page 57 - Layla Majnun
P. 57

buruan, salah seorang pemburu melihat sekawanan antelop itu memasuki
              sebuah gua yang terletak di atas mereka. Nowfal memerintahkan dua
              orang pelayannya untuk turun dari kuda dan dengan bersenjatakan busur,
              panah, dan belati. Ketiga orang itu mulai berjalan menaiki bebatuan.
                     Perlahan-lahan mereka berjalan berjingkat-jingkat menuju gua
              tersebut, merasa yakin bahwa dalam beberapa menit saja, antelop-ante-
              lop yang terperangkap itu akan menjadi milik mereka. Namun ketika tiba
              di jalan masuk menuju gua itu, sebuah pemandangan aneh menghentikan
              langkah mereka. Sekawanan antelop itu memang berada di dalam gua;
              mereka semua berkerumun di dalam gua yang tak terlalu gelap, mata-
              mata mereka terbuka lebar karena ketakutan dan panggul mereka geme-
              taran. Tapi sekawanan antelop ini tidak sendirian, ada sesosok makhluk
              yang meringkuk di belakang mereka. Nowfal belum pernah melihat sosok
              seperti itu sebelumnya.
                     Sosok itu tak mengenakan pakaian, pada tubuhnya yang kurus
              terdapat begitu banyak luka sobekan karena terkena duri, rambutnya
              kotor dan kusut terurai hingga bahunya. Apakah sosok ini hewan ataukah
              manusia? Apakah ia iblis dari dunia bawah yang datang untuk menghan-
              tui dunia ini, ataukah ia sesosok jin yang menyamar menjadi manusia? Now-
              fal baru saja akan meraih belatinya ketika ia mendengar sosok itu mulai
              terisak-isak. Nowfal menoleh ke arah teman-temannya dan berbisik, “Apa-
              kah kalian tahu siapa makhluk malang ini?”
                     “Saya pernah mendengar tentangnya,” kata salah seorang pe-
              layan. Ia melangkah maju dan melanjutkan ucapannya, “Ia adalah seorang
              pria muda yang telah dibuat gila oleh cinta. Ia telah meninggalkan kehi-
              dupannya dan kini hidup di gurun ini. Sepanjang siang dan malam yang di-
              lakukannya hanyalah menciptakan soneta dan ode untuk kekasihnya. Se-
              tiap awan melintas, ia berpikir bahwa awan itu membawa pesan dari ke-
              kasihnya; setiap angin berhembus, ia membayangkan angin itu membawa
              aroma wangi kekasihnya. Karena itulah ia menyanyikan lagu-lagu cinta, ber-
              harap bahwa angin dan awan akan membawa ucapannya kepada keka-
              sihnya.”
   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62