Page 74 - Layla Majnun
P. 74
masyarakat Arab dan kau adalah seorang pangeran! Aku adalah seorang
pria tua – pria tua yang hatinya hancur dan punggungnya membungkuk
karena perubahan waktu. Bencana telah membuatku berlutut; kesedih-
an telah membuatku sampai di tepian. Kutukan dan keburukan sedang
menumpuk di atasku saat ini, dan saat aku teringat oleh darah yang telah
tumpah karenaku, kuharap bumi ini akan terbuka dan menelanku bulat-
bulat. Sekarang keputusan ada di tanganmu. Jika kau akan melepaskan
putriku, maka aku akan merasa sangat bahagia. Jika kau berniat membu-
nuhnya, maka bunuhlah ia! Goroklah tenggorokannya dengan belatimu,
tusukkan pedangmu ke dalam jantungnya, dan injak-injaklah tubuhnya
di bawah kuda-kudamu jika kau mau. Aku takkan mempertanyakan ke-
putusanmu.
“Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa kuterima. Selama aku ma-
sih menjadi ayahnya, aku takkan pernah menyerahkan putriku kepada si
tolol, si iblis yang menyamar menjadi manusia, si gila, si ‘majnun’ ini – takkan
pernah! Seharusnya ia diikat oleh rantai besi dan dikunci rapat-rapat, dan
bukan terikat dalam ikatan pernikahan lalu dibiarkan bebas berkeliaran!
“Lagipula, apalah ia? Ia hanyalah orang bodoh, gelandangan
dan pengembara, tak mempunyai tempat tinggal, orang yang tak berguna
yang berkelana di pegunungan bagaikan pertapa kotor yang dirasuki
syaitan serta para kaki tangannya. Apakah ia layak untuk duduk bersanding
dengan manusia lainnya, apalagi untuk memperistri seorang gadis? Apa-
kah aku bersedia memiliki menantu seorang penyair pengkhianat yang
telah menyeret-nyeret namaku dalam kubangan kotoran? Seluruh pelosok
Arab telah menyebut-nyebut nama putriku dalam sajak-sajaknya yang
menyedihkan. Dan kau justru memintaku untuk menyerahkan putriku ke-
padanya? Namaku akan buruk selamanya, dan tanah kelahiranku yang
kuagungkan takkan selamat. Kau meminta sesuatu yang tak mungkin, Tuan,
dan kumohon agar kau menghentikannya. Lebih baik jika aku menggo-
rok lehernya dengan pedangku daripada harus menyerahkannya kepada
Majnun: karena hal itu akan sama saja dengan menyerahkan putriku sendiri
ke kandang singa. Akan lebih baik jika ia mati secepatnya dengan pedang-
ku daripada harus meletakkannya di rahang naga seperti Majnun!”