Page 80 - Layla Majnun
P. 80
Ia memohon agar Allah memberikan berkah kepada hewan-
hewan tersebut, lalu ia melepaskan mereka dan memandang saat mere-
ka berlarian di atas gurun pasir. Ia kemudian melanjutkan perjalanan-
nya, langkahnya lebih pelan kali ini karena tubuhnya menopang kesedihan
serta beberapa barangnya yang tersisa.
Cahaya matahari menyengat kepalanya tanpa ampun, semen-
tara pasir membakar kakinya. Kulitnya hangus, otaknya terasa seperti
terpanggang, kakinya lecet-lecet dan terluka oleh duri, namun ia terus
berjalan tanpa gentar. Perjalanannya masih berlanjut hingga malam menye-
lubungkan jubah gelapnya di bumi dan rembulan yang meminjam sinar
matahari menjadi pemandangan yang sangat indah di langit. Saat itulah
ia baru beristirahat.
Dengan terengah-engah dan mengerang ia memasuki sebuah
gua dan menjadikan selendang tuanya sebagai selimut dan batu sebagai
bantalnya. Lalu ia membaringkan tubuhnya, dan saat berjuang untuk bisa
tidur, ia membaca buku kehidupannya, yang halaman demi halamannya
lebih gelap dari malam.
Saat pagi mulai menjelang dan matahari mulai bersinar, para syaitan
tidur melepaskan rantai pikiran Majnun dan mengembalikannya ke-
padanya, membiarkannya terbangun.
Sambil mengusap-usap matanya, ia melangkah keluar dari gua
dan melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalanannya, ia menciptakan
ode dan sajak, lalu menyanyikannya keras-keras untuk dirinya sendiri dan
gurun pasir.
Menjelang sore hari, Majnun kembali bertemu dengan seorang
pemburu. Pria ini telah berhasil menjebak rusa jantan dalam perangkap
dan sedang bersiap-siap untuk menggorok lehernya.
Darahnya mulai mengucur, lalu Majnun berlari menuju si pemburu
dan berteriak, “Kau monster yang kejam! Memalukan sekali bagaimana
caramu menindas yang lemah dan tak berdaya! Biarkan makhluk ini pergi
agar ia bisa menikmati apa yang tersisa dari hidupnya!
“Tidakkah kau memikirkan kawanan makhluk ini? Anak-anaknya
yang sedang menunggu ayahnya kembali pulang? Apa yang akan dika-