Page 84 - Layla Majnun
P. 84
lelap. Secara perlahan perhatiannya larut, kekhawatirannya mencair dan
mulai bermimpi.
Ketika terbangun, matahari telah terbenam. Berapa lamakah ia
tertidur? Sepertinya baru beberapa menit saja, namun cahaya matahari
yang mulai memudar serta dingin yang mulai menerpa berkata lain.
Tatkala ia bertanya-tanya tentang misteri tidurnya, berusaha
untuk mengetahui berapa jam yang berlalu tanpa disadarinya, Majnun
tiba-tiba merasa bahwa ia tidak sendirian, bahwa ada seseorang atau se-
suatu yang telah memperhatikannya selama ia tertidur. Mungkin ia salah
duga – lagipula, pikirnya, selain diriku, tak ada makhluk hidup lain sejauh
bermil-mil di sekitarnya.
Lalu ia melihatnya. Jauh di atas dedaunan pada dahan teratas
pohon palem yang telah dijadikannya tempat berteduh, tampak sebuah
bayangan hitam. Di sana, terdiam di atas dedaunan hijau, duduk seekor bu-
rung gagak besar berwarna hitam, matanya bersinar bagaikan permata.
Burung gagak itu juga mengenakan jubah kesedihan, pikir Majnun.
Seperti diriku, ia telah terbang ke alam liar untuk dapat menyendiri de-
ngan kesedihannya. Majnun melegakan tenggorokannya dan berteriak
kepada si burung gagak. “Hei, kau yang mengenakan jubah hitam! Untuk
siapa kau berduka? Untuk apa kau kenakan warna kegelapan bahkan di
siang hari? Katakan padaku, apakah kau bersedih karenaku?”
Terkejut oleh teriakan itu, si burung meloncat ke dahan lain dengan
matanya yang bagaikan lentera menatap tajam ke arah Majnun. Majnun
melanjutkan, “Jika kau seperti diriku yang hatinya telah terbagi dua oleh
cinta, mengapa kau menghindariku? Atau mungkinkah kau berpakaian
hitam karena kau adalah penceramah yang siap untuk mengumpulkan
orang-orang yang akan mendengarkan ceramahmu? Benarkah demikian?”
“Tapi bisa saja kau seorang penjaga negro yang berada di sini
untuk mengawasi setiap gerak-gerikku. Jika itu benar, lalu mengapa kau
takut padaku? Mungkin aku adalah sang Raja dan kau adalah sang ksatria
yang dikirim untuk menjagaku.”