Page 87 - Layla Majnun
P. 87
Semakin dekat ia ke tujuannya, semakin mabuk jiwanya akan aro-
ma Layla, semakin jelas telinganya dapat mendengar suaranya, semakin
jelas matanya dapat melihat bayang-bayangnya pada apapun yang dilihat-
nya – di pegunungan, lembah, bebatuan dan pasir yang bergerak.
Tak lama kemudian, ia merasa begitu lelah sehingga ia memaksa
dirinya untuk berhenti. Dalam beberapa menit, ia merasa bagaikan mayat
yang telah dibangkitkan kembali: dengan setiap helaan napas, ia merasa
kekuatan dihembuskan kembali ke dalam tubuhnya yang lelah.
Belum lama ia berisitirahat ketika ia melihat dua sosok manusia
mendekatinya. Seorang pria yang terikat oleh rantai, tubuhnya kurus hanya
berbalutkan kain compang-camping dan rambut serta jenggotnya kusut,
sedang diseret oleh seorang wanita. Tampak jelas bahwa si tawanan yang
malang itu telah kehilangan akalnya; setiap beberapa menit sekali si wa-
nita menyentakkan rantainya dan menghajarnya dengan kayu, menyuruh
pria itu agar bergerak dengan cepat. Hal itu membuat si pria berteriak-te-
riak dengan menderita.
Majnun benar-benar terpana melihat pemandangan itu dan
segera berlari menuju sepasang pria dan wanita itu, lalu merampas kayu
yang ada di tangan wanita itu. “Demi Allah,” jeritnya, “jangan ganggu
pria malang itu! Apa salahnya hingga ia harus menerima perlakuan yang
tidak manusiawi seperti ini? Ia mungkin gila, mungkin juga seorang krimi-
nal, tapi apapun dirinya, ia adalah seorang manusia dan kau tak punya hak
untuk menghukumnya dengan cara seperti ini.”
Si wanita menyahut, “Apakah kau ingin tahu yang sebenarnya?
Kalau begitu dengarkan baik-baik. Pria ini tidak gila ataupun seorang kri-
minal. Aku adalah seorang janda miskin dan ia adalah penganut Islam
fanatik, seorang bodoh yang terlalu berlebihan memuja Allah, dan kami
berdua telah melalui penderitaan yang berat. Kami berdua bersedia me-
lakukan apapun demi mendapatkan uang yang cukup untuk sekedar mem-
beli roti.”
“Karena itulah kami berkeliling dengan cara seperti ini, karena
semua orang akan berpikir bahwa ia gila. Orang-orang merasa iba kepada
kami – kepadanya karena ia gila, dan kepadaku karena menanggung beban