Page 231 - Perspektif Agraria Kritis
P. 231
Perspektif Agraria Kritis
Sebagaimana dapat dicermati dari Gambar 11.1 di atas,
penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUPA atas makna “sebesar-besar
kemakmuran rakyat” membawa pada tiga konsekuensi yang
mendasar sebagai berikut.
Pertama, tujuan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”
itu—yang oleh UUPA diterjemahkan sebagai “kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat”— harus diupayakan
benar-benar perwujudannya di “dalam masyarakat”. Frase
“dalam masyarakat” ini penting untuk diperhatikan karena
membawa implikasi mendasar bagi upaya pembaruan tata
pengurusan agraria. Pada intinya, frase ini menegaskan bahwa
pembaruan atas relasi-relasi teknis dan sosial agraria harus
diwujudkan melalui demokratisasi relasi-relasi tersebut dengan
sasaran pertama-tama di antara berbagai subjek agraria di
dalam masyarakat itu sendiri.
Seperti telah dibahas saat membicarakan “subjek
agraria” (lihat bab pertama), masyarakat bukanlah entitas
homogen. Alih-alih demikian, masyarakat kerap terdiferensiasi
berdasarkan gender, status sosial, kelas ekonomi, afiliasi
politik, orientasi budaya, dan sebagainya. Persis di sinilah
terdapat kepentingan untuk memastikan bahwa pembaruan
tata pengurusan agraria berlangsung dalam cara yang se-
inklusif mungkin, yakni benar-benar memihak kepentingan
kelompok miskin dan marginal (cf. bab keempat).
Kedua, tujuan “untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” itu juga harus diupayakan perwujudannya di dalam
“negara hukum Indonesia”. Jadi, selain harus diwujudkan di
antara berbagai pihak dalam masyarakat, tujuan tersebut juga
menuntut pelaksanaan hal yang serupa dalam hubungan
negara dengan masyarakat. Pengertian semacam ini menuntut
proses demokratisasi atas relasi negara dengan masyarakat,
khususnya yang berkaitan dengan kewenangan pengurusan
sumber-sumber agraria.
166

