Page 232 - Perspektif Agraria Kritis
P. 232
Bagian VI. UUPA Sebagai Kerangka Normatif
Dalam kaitan inilah UUPA, antara lain, menetapkan
aturan mengenai pendelegasian hak penguasaan negara
kepada daerah Swatantra ataupun kepada masyarakat hukum
adat. Pasal 2 ayat (4) menyatakan:
“Hak menguasai dari negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
[sic!] dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan Pemerintah.” 1
Ketiga, tujuan yang sama pada akhirnya juga harus
diupayakan perwujudannya dalam “negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.” Ketentuan ini
melengkapi dua konsekuensi sebelumnya di mana sasaran
utama pembaruannya lebih ditujukan ke dalam sendiri, yakni
menyangkut relasi di dalam masyarakat dan relasi antara
negara dengan masyarakat. Pada poin ketiga ini, demokratisasi
relasi-relasi agraria juga harus diperjuangkan dalam konteks
hubungan negara Republik Indonesia dengan berbagai
kekuatan eksternal (baik negara tetangga maupun kekuatan
eksternal lainnya) sehingga dapat terwujud sebuah “negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat”. Keharusan yang
terakhir ini merupakan suatu “conditio qua non” dalam rangka
mewujudkan sebuah negara hukum Indonesia yang “adil dan
1 Tidak dapat dipungkiri, UUPA amat menekankan asas kebangsaan
dan persatuan nasional. Di bawah rezim otoriter Orde Baru,
penekanan yang berlebihan atas kedua asas ini telah menimbulkan
ekses negatif berupa sentralisme kekuasaan dan marginalisasi hak-
hak masyarakat hukum adat. Ekses semacam ini baru bisa dikoreksi
pasca-kejatuhan Presiden Soeharto. Melalui amandemen Pasal 18 dan
18A UUD 1945, otonomi daerah dipulihkan dan diperkuat kembali. Lalu,
melalui Pasal 18B UUD 1945, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat dan hak-hak tradisionalnya mendapat pengakuan yang lebih kuat.
167