Page 99 - Jurnal Sejarah Abad Historiografi Pendidikan Indonesia
P. 99
94 | Ilham Nur Utomo
memang sulit untuk direkonstruksi secara maupun Soedjatmoko kelak berimbas terh-
utuh, terlebih sumber sejarah sulit untuk adap penyelenggaraan pendidikan. Sejarah
ditemukan. Oleh karena itu, seringkali yang dimasukkan sebagai mata pelajaran
merekonstruksi sejarah diartikan sama hal- dari jenjang sekolah dasar hingga menen-
nya dengan menyusun kembali gelas kaca gah atas akan mengekor pada hasil peneli-
yang pecah. tian yang dilakukan oleh sejarawan profe-
Di balik kemustahilan merekonstruksi sional. Ketika sejarah tidak didasarkan atas
peristiwa sejarah secara utuh, terdapat ke- perspektif dari dalam (history from within),
wajiban bagi sejarawan untuk menunjuk- maka akan berakibat pada pembelajaran
kan nilai-nilai yang terkandung dari masa sejarah ditingkat sekolah.
lampau. Sejarah mengemukakan mana Pada dasarnya penggunaan perspektif
yang dipandangnya berharga bagi perad- “luar” dalam pendidikan di sekolah sudah
aban (Hatta, 1960: 56). Hatta sangat me- dimulai sejak masa Hindia Belanda. Seko-
nekankan pada nilai. Sejarah dianggapnya lah-sekolah yang didirikan oleh Pemerintah
memiliki kegunaan yang signifikan bagi Hindia Belanda menggunakan perspektif
kehidupan manusia. Sejarah mengajarkan Barat dalam menyampaikan materi pem-
manusia melihat sesuatu yang relatif, yang belajaran. Meskipun siswa di dalam ke-
sementara dalam segala kejadian di dunia las tidak hanya kaum Belanda, melainkan
ini (Hatta, 1960: 68). Sebuah guna sejarah juga kaum bumiputra. Atas dasar tersebut,
yang mengajarkan manusia untuk selalu Mohammad Hatta menyampaikan ketidak-
bergerak maju karena sifat manusia yang sepakatan dengan materi pendidikan pada
dinamis dan relatif, sebagaimana sejarah. masa Hindia Belanda, khususnya menge-
nai mata pelajaran sejarah.
Kritik Terhadap Pendidikan Sejarah Ketidaksepakatan Hatta dikemuka-
Masa Kolonial kan melalui pleidoi Indonesie Vrij ketika
melakukan pembelaan atas penangkapan
Permasalahan perspektif dalam penulisan aktivis Perhimpunan Indonesia (PI) di
sejarah Indonesia menjadi topik menarik Belanda pada tahun 1928. Dengan tegas
pada penyelenggaraan Seminar Nasion- Hatta mengkritik praktik pendidikan oleh
al Indonesia I di Yogyakarta tahun 1957. Pemerintah Hindia Belanda, terutama
Terjadi perdebatan argumentatif menarik mengenai pelajaran sejarah. Menurutnya,
antara M. Yamin dan Soedjatmoko menge- sudah sejak di Sekolah-sekolah Rendah
nai perspektif penulisan sejarah. M. Yamin Belanda, anak-anak Indonesia dicekokkan
melihat bahwa penelitian keilmuan selay- untuk mencintai dan mengagumi pahla-
aknya mengarah pada penafsiran tentang wan-pahlawan kemerdekaan Eropa seperti
nasionalisme yang digunakan untuk men- Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem
guatkan kesadaran nasional, akan tetapi van Oranye, dan banyak lagi (Hatta, 2005:
Soedjatmoko memiliki pandangan berbeda 7). Di sisi lain, para pejuang bumiputra
dan lebih melakukan kritik terhadap “uto- direpresentasikan sebagai pemberontak
pia masa lalu” (Ahmad, 2016: 24). Jika dit- dan pengacau. Diponegoro, Imam Bonjol,
injau lebih jauh, baik pendapat M. Yamin Teuku Umar dan pejuang lain digambar-
Jurnal Sejarah