Page 154 - My FlipBook
P. 154

Bagian Ketiga



                 Oleh sebab itu, dalam menilai suatu peristiwa sejarah secara moral tidak dapat

                 kita  menggunakan  ukuran-ukuran  subjektif  penalaran  kita  semata-mata.
                 Wahyu  perlu  dijadikan  pedoman  dalam  memberikan  pertimbangan  moral

                 terhadap episode sejarah.


                      Pengalaman kolektif manusia masa lampau tidak mungkin diulang lagi

                 karena  peristiwanya  telah  usai,  teater  sejarah  masa  silam  terbuka  untuk
                 diselidiki dan dinilai. Kita menyadari bahwa persepsi dan penilaian manusia

                 terhadapnya tidak pernah mencapai posisi final. Yang dituntut dari kita adalah

                 kejujuran dan kecermatan dalam membaca peta pengalaman manusia masa
                 lampau itu. Sejarah senantiasa menuntut fakta bukan fiksi. Cerita sejarah yang

                 bukan faktual gugurlah nilai sejarahnya, sekalipun nilai moralnya belum tentu
                 demikian. Seperti novel-novel yang bermutu tapi fiktif biasanya sarat dengan

                 nilai-nilai moral itu. Dalam panggung moral, sejarah dan novel punya fungsi
                 sama. Bedanya, yang satu faktual, sedang yang lain mungkin fiktif.



                      Bila masa lampau terbuka untuk dinilai secara moral, maka masa depan
                 terbuka  dengan  segala  kemungkinan.  Faham  predeterminisme  yang

                 mengajarkan  bahwa  masa  depan  umat  manusia  sudah  tertutup,  karena
                 segalanya sudah ditetapkan Tuhan, bukanlah berasal dari ajaran Islam sejati.

                 Faham ini pada periode klasik kita kenal dengan faham jabariyah. Menurut

                 faham  ini,  manusia  tidak  lebih  dari  lakon  wayang  yang  dimainkan  oleh
                 dalangnya. Faham ini bila dituruti akan mematikan dinamika sejarah umat

                 manusia. Orang akan pasrah begitu saja kepada sang nasib. Dalam pandangan
                 ini, terkandung makna bahwa eksistensi menjadi tidak berarti sama sekali.

                 Bila demikian soalnya, pertanyaan yang mendesak adalah: apakah adil bila
                 manusia diwajibkan mempertanggungjawabkan perilaku dan perbuatannya,

                 sementara kepadanya tidak diberi hak untuk menentukan pilihan?






            142
   149   150   151   152   153   154   155   156   157   158   159