Page 422 - My FlipBook
P. 422
Bagian Kempat
lebih berbahaya dari candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama
323
mendorong orang untuk menganiaya sesama.
Tak berbeda dengan “dilema Wilson” di atas, Cak Nur pun mengalami
kegelisahan intelektual (sense of crisis) ini, lalu menggagas cara pandang Islam
yang inklusif. 324 Beberapa pengamat menyebutnya sebagai “teologi inklusif” 325
yang merupakan manifestasi dari “monoteisme Islam yang inklusif”. 326 Berikut
penuturan Cak Nur,
“Pandangan-pandangan inklusifistik seperti dikemukakan Ibn
Taymiyyah, amat relevan untuk dikembangkan pada zaman sekarang,
yaitu zaman globalisasi, membuat umat manusia hidup dalam sebuah “desa
buwana” (global village). Dalam desa buwana itu, seperti telah disinggung,
manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tapi
sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi
langsung. Karena itu sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian dan
paham, dengan kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan atau
kalimatun sawâ’ seperti diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.” 327
Justifikasi Cak Nur terhadap “dilema Wilson” dan menurunkannya dalam
struktur pandangan alam Islam merupakan suatu konfirmasi otentik bagi pengaruh
globalisasi terhadap pemikiran keagamaan dengan penyesuaian-penyesuaian
tertentu secara teologis, bahkan sampai pada tataran dekonstruksi konsep dan
makna.
Lebih lanjut, Adnan Aslan, seorang peneliti pada Turkish Religious
Foundation-Center for Islamic Studies menegaskan bahwa dalam konteks
pengaruhnya terhadap agama-agama, globalisasi telah melahirkan sedikitnya tiga
dampak yang sangat serius; pertama, menimbulkan perubahan dalam suatu agama.
323 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia (Jakarta : Paramadina, 1995), Cet. I, hal. 121
324 Budhy Munawar-Rachman, Kesatuan Transendental Dalam Teologi:Perspektif Islam tentang
Kesamaan Agama-agama dalam Dialog:Kritik & Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei ),
Cet. I, hal. 121
325 Ciri lain dari teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama
terbuka (open religion). Prinsip Islam sebagai agama terbuka adalah bahwa Ia menolak
ekslusifisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. (Ulumul
Qur’an, No. 1, Vol. IV, 1993, hal. 52)
326 Budhy Munawar-Rachman, Kesatuan Transendental hal. 121
327 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan... 16
410