Page 427 - My FlipBook
P. 427
Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer
kecuali yang selaras dengan akal dan eksperimental (scientific). Fakta sejarah
tersebut merupakan konsekuensi logis dan titik puncak kulminasi dari
‘perseteruan’ antara gereja Kristiani yang akhirnya melahirkan “liberalisme”,
sebuah aliran baru dalam wacana sosial yang menyerukan kebebasan, toleransi,
persamaan dan pluralisme.
Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan suatu tatanan yang
pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang
dimaksudkan untuk mem-fasilitasinya harus bermuara pada suatu tatanan sosial
yang menempatkan agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benar dan
sama relatifnya, atau yang lebih dikenal sebagai ‘pluralisme agama’. Oleh karena
itu tidaklah asing jika pluralisme agama muncul dalam kemasan pluralisme politik
yang tidak lain adalah produk dari liberalisme politik itu sendiri. 338 Pada tataran
ini tidaklah berlebihan jika wacana pluralisme agama yang diusung oleh para
penganjurnya lebih bersifat sebagai gerakan politik daripada gerakan agama.
Seperti halnya Legenhausen dalam bukunya Islam and Religious Pluralism
menegaskan bahwa, berkembangnya liberalisme politik pada abad ke-18 di Eropa
umumnya disulut oleh penolakan terhadap intoleransi beragama yang ditunjukkan
melalui perang-perang sektarian pada periode Reformasi. Dengan mengetahui
historical background lahirnya “liberalisme” tersebut dapat dipahami bahwa
“pluralisme agama” merupakan upaya pemberian suatu landasan bagi teologi
Kristiani agar toleran terhadap agama non-Kristen. 339 Pada tataran ini pluralisme
agama diidentifikasi sebagai gerakan internal Gereja untuk melakukan reformasi
dalam doktrin dan ajaran agama Kristen pada abad ke-19 yang kemudian populer
sebagai “Protestanisme Liberal” yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher
(1768-1834). 340 Meskipun ia sendiri membela superioritas Kristen di atas agama-
agama lain, namun Schleiermacher menganggap bahwa agama itu secara esensi
bersifat personal dan privat. Ia juga menyatakan bahwa esensi dari agama terletak
pada jiwa manusia yang melebur dalam perasaan dekat dengan Yang Tak
Terbatas, bukan pada sistem-sistem doktrin keagamaan, tidak juga pada
penampakan-penampakan lahiriah semata. Pemikiran-pemikiran Schleiermacher
338 Anis Malik Thoha, Ittijâhât al-Ta’addudiyat al-Diniyah... hal. 9-10.
339 M. Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama Kajian Tentang Liberalisme dan Pluralisme
Agama, Terj. Arif Mulyadi, Jakarta : Lentera, 2002, Cet. I. hal. 17-19
340 Ibid., hal. 20-21
415