Page 430 - My FlipBook
P. 430
Bagian Kempat
sama dalam kontek justifikasi keyakinan religius yang menurut Hick dapat
ditemukan pada religious experience.
Berikutnya, (4) Pluralisme Religius Aletis (Alethic Religious Pluralism)
yaitu, kebenaran religius harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen
dengan derajat yang sama. Meskipun ada fakta dan konsep yang kontradiktif
diantara agama-agama tersebut mengenai Relitas, halal dan haram, jalan
keselamatan, sejarah dan sifat manusia. Dalam pandangan pluralisme aletis, semua
itu menjadi benar jika ditinjau dari dunianya masing-masing; (5) Pluralisme
Religius Deontis 347 (Deontic Religious Pluralism) yaitu, pelaksanaan dan
dipenuhinya kehendak Tuhan atau perintah-perintah Ilahiyah tidak harus dengan
mengimani keimanan Kristen. Karena memang, dalam pandangan pluralisme ini,
pada beberapa daur sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wahyu untuk
umat manusia melalui seorang nabi dan Rasul. Namun menurut Legenhausen,
pemikiran pluralisme agama ala John Hick tidak menjelaskan rumusan terakhir
348
ini secara terperinci.
Merujuk kepada pendapat-pendapat ahli dalam bidang ini, misalnya
Hendrik Kraemer (“Christian Attiude toward Non-Christian Religions”), Karl
Rahner (“Christianityand the Non-Christian Religions”) dan John Hick (God and
the Universe of Faith), Budhy Munawar-Rachman - seorang pluralis muslim
Indonesia- mencatat tiga sikap dalam teologi agama-agama; (1) Sikap eksklusif.
Pandangan ini menyatakan Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk
keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun yang datang
ke Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Juga ada ungkapan,” Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab
dibawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia
347 Kata ‘deon’ bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban untuk
mematuhi kehendak Tuhan (Ibid., hal. 10)
348 Lihat, Musa Kazhim, “Pengantar” dalam Ibid, hal. 8-11 dan analisis kritis atas kelima rumusan
ini pada hal. 43-92. Legenhausen mengakhiri diskripsinya tentang religious pluralism Hick
dengan sebuah afirmasi bahwa Islam menganut sebuah paham pluralis yang ia sebut sebagai
Pluralisme Agama Deontis-Diakronis ( ةرركتملا ةيقلاخلأا ةينيدلا ةيددعتلا/Diacrhronic Deontic Religious
Pluralism) yaitu, paham yang menyatakan bahwa perintah dan kehendak Ilahi ini terus mengalami
proses penyempurnaan serta melahirkan keragaman tradisi agama. Ditetapkannya Islam
Muhamamd álaihissalam sebagai risalah terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi
agama-agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu yang terakhir ini.
(Ibid., hal. 46-47. Lihat pula edisi bahasa Arabnya dengan judul Al-Islam wa Al-Ta’addudiyah,
Terj. Mukhtar Al-Asady [Iran: Muassah al-Huda, 2000], Cet. I, hal. 43-47)
418