Page 21 - Buku Saku Pendidikan Kewarganegaraan - Adel Amelia
P. 21
3.2 Sejarah Konstitusi Indonesia
Sejarah konstitusi Indonesia mencerminkan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam
membangun sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berdaulat. Setelah
memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa segera menyadari
perlunya dasar hukum tertulis yang dapat mengatur penyelenggaraan negara yang baru lahir.
Oleh karena itu, sehari setelah proklamasi, tepatnya pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi
negara. UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Pembukaan UUD
1945 memuat empat pokok pikiran yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara, sedangkan Batang Tubuh mengatur struktur kelembagaan negara, hak-hak warga
negara, serta prinsip-prinsip dasar pemerintahan.
Namun, perjalanan konstitusi Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Pada masa awal
kemerdekaan, terjadi berbagai perubahan konstitusi seiring dengan dinamika politik nasional.
Sejak 1949, Indonesia sempat menggunakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
sebagai hasil dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan Belanda. Konstitusi
RIS mengadopsi bentuk negara federal dan memberikan otonomi luas kepada negara-negara
bagian. Akan tetapi, sistem ini tidak bertahan lama karena bertentangan dengan semangat
nasionalisme dan keinginan rakyat untuk bersatu dalam satu negara kesatuan. Akhirnya, pada
17 Agustus 1950, Indonesia kembali mengubah konstitusinya menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950 yang menegaskan kembali bentuk negara kesatuan dan menganut
sistem parlementer.
Masa berlakunya UUDS 1950 pun tidak berlangsung lama. Situasi politik yang tidak stabil dan
seringnya pergantian kabinet menyebabkan Presiden Soekarno mengambil langkah drastis
dengan mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan kembali berlakunya UUD
1945 dan membubarkan Konstituante. Dekret ini menandai kembalinya sistem pemerintahan
berdasarkan UUD 1945, meskipun dalam praktiknya kemudian berkembang menjadi sistem
Demokrasi Terpimpin yang memberikan kekuasaan besar kepada Presiden.
Memasuki masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, UUD 1945 tetap
dipertahankan, tetapi pelaksanaannya sering kali menyimpang dari prinsip konstitusionalisme.
Pemerintah Orde Baru memanfaatkan UUD 1945 untuk melegitimasi kekuasaan yang
sentralistik dan otoriter, dengan dalih menjaga stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi.
Pada masa ini, amandemen terhadap UUD 1945 dianggap sebagai hal yang tabu dan bahkan
dilarang untuk dibicarakan secara terbuka.
Situasi berubah drastis setelah terjadinya Reformasi 1998, yang ditandai oleh runtuhnya rezim
Orde Baru. Tuntutan masyarakat untuk melakukan reformasi konstitusi menjadi sangat kuat,
dengan tujuan memperbaiki sistem ketatanegaraan, memperluas demokrasi, memperkuat
perlindungan hak asasi manusia, dan membatasi kekuasaan eksekutif. Akibatnya, dalam kurun
waktu 1999 hingga 2002, dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen
ini membawa perubahan besar, antara lain pembentukan Mahkamah Konstitusi, penguatan
peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pembatasan masa jabatan presiden dan wakil
presiden, serta pengakuan yang lebih luas terhadap hak asasi manusia.
17

