Page 106 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 106
Prof. Dr. Achmad Mochtar: Ilmuwan Kelas Dunia Korban Kejahatan Perang Jepang
melalui berbagai penelitian, penyuluhan kepada masyarakat,
maupun dengan melakukan pengobatan secara langsung.
Daerah Tapanuli sendiri pada masa itu memang dikenal sebagai
sarang malaria. Ali Hanafiah, adik ipar Mochtar yang sedang
belajar di STOVIA, pada tahun 1918 sempat menjalani vakansi
(liburan) ke Panyabung. Setelah sempat mampir ke Tanah
Datar, kampung halamannya, Hanafiah kemudian berangkat
ke Panyabungan dengan menumpang bus milik pemerintah
(Belanda) yang rodanya menggunakan ban mati, “sehingga
penumpang dikocok pada setiap bagian jalan yang tidak rata”.
Hampir limapuluh tahun kemudian, Hanafiah menceritakan
kembali kenanganya berlibur ke tempat kakak iparnya itu
bertugas.
Daerah Panyabungan dan Sibolga terkenal sebagai sarang
malaria. Kak Mochtar berjasa sekali dalam memberantasnya. Ini
dapat penghargaan dari Pemerintah sehingga beberapa tahun
kemudian beliau ditugaskan untuk meneruskan studi ke Negeri
Belanda atas biaya Pemerintah. 4
Hanafiah sendiri juga terkena malaria tropica ketika
berlibur di Panyabungan itu. Penyakit tersebut kambuh
setelah ia kembali ke Betawi, sehingga harus dirawat di rumah
sakit CBZ (rumah sakit Cipto sekarang) selama satu minggu
(Hanafiah: 40).
Berhasil dengan tugas-tugas melayani kesehatan
masyarakat di Panyabungan, mulai akhir tahun 1918 Mochtar
4 Prof. dr. Moh. Ali Hanafiah gelar Sutan Maharaja, 77 Tahun Riwayat Hidup,
Jakarta: 1976, diterbitkan untuk lingkunngan keluarga. Lihat hlm. 40.
77