Page 228 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 228
Prof. Dr. Achmad Mochtar: Ilmuwan Kelas Dunia Korban Kejahatan Perang Jepang
si pemeriksa yang tepat mengenai dagu saya, sehingga saya jatuh
“knock out”. Sesudah sadar kembali interogasi dimulai dengan kata-
kata: “Mengaku sajalah, yang lain juga telah mengaku; kami hanya
menunggu pengakuan kamu saja lagi.”
Rupanya segala sesuatu telah diatur demikian rupa sehingga dari hasil
pemeriksaan harus terbukti bahwa suatu komplotan beberapa dokter
Indonesia yang anti Nippon dan pro Sekutu telah melaksanakan
sabotage dengan meracuni vaksin yang disuntikkan kepada romusha.
Dan mereka yakin bahwa saya adalah salah seorang dari dokter
tersebut.
Lima belas hari lamanya saya ditanyai secara intensif, dengan
menggunakan hampir semua repertoire siksaan. Tiap jawaban yang
tidak mereka setujui diputus dengan pukulan dan teriakan “bohong”.
Pada suatu waktu saya telah putus asa; mengaku sesuai dengan
kehendak mereka berarti mati, tidak mengaku akhirnya mungkin
mati juga akibat siksaan. Maka saya minta supaya saya dibunuh saja.
Jawab mereka “Kami tidak mau rekas-rekas” (r=l), menegakkan bulu
roma saya.
Pada tanggal 12 November 1944, saya diberi kertas dan pensil dan
disuruh menulis surat perpisahan kepada keluarga yang ditinggalkan,
sebab katanya saya malamnya akan ditembak mati bersama 2 orang
dari penjara Cipinang. Rupanya ini ancaman terakhir; kemudian
ternyata bahwa surat itu tidak disampaikan pada alamatnya.
Sesudah tanggal 15 November 1944, saya tidak ditanyai lagi. Berbulan-
bulan menunggu selalu dibayangi oleh ancaman bahwa tiap malam
mungkin merupakan malam terakhir buat saya. Merupakan suatu
ironi besar, bahwa keadilan dan hak azasi manusia diinjak-injak
dalam gedung yang sebelum perang dipergunakan tempat mendidik
orang dalam ilmu hukum dengan segala aspek kemanusiaannya.
Peristiwa yang tidak terlupakan terjadi di depan sel kami pada tanggal
9 Desember 1944. Di atas sebuah tandu berbaring sejawat Dr. Marah
199