Page 241 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 241
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
saudara Djoehana dilemparkan ke atas rumput di depan deretan
kamar tahanan dalam keadaan tidak sadar.
Dalam sel yang sumpek ini saya juga mendengar Allahu
Akbar 3 kali yang disuarakan dengan lantang. Takbir yang
menegakkan buku roma waktu seorang muslim melepas teman
sekamarnya ke alam baka, korban siksaan.
Saya pun melihat Prof. Mochtar lewat depan sel dengan
wajah tertutup kain putih, menurut teman sekamar itu pertanda
akan dihukum mati. Prof. Mochtar yang tampak lemah itu.
Begitu perlahan melangkah. Jelas terlihat betapa berat beban
penderitaannya.
Untuk ransum, yang diberikan sehari dua kali, kami
masing-masing mendapat satu kotak kayu berukuran 15 cm x
10 cm x 7 cm, berisi nasi dan kangkung sedikit, ditambah garam
dapur satu sendok. Untuk minum kami diberi satu mangkok
air teh panas, hanya itu.
Surat Kesaksian Prof. Dr. Djoehana Wiradikarta
Prof. Dr. Djoehana Wiradikarta (nanti menjadi guru
7
besar ITB Bandung), pada waktu terjadi Peristiwa Mochtar
7 Lengkapnya Raden Mohammad Djoehana Wiradikarta, lahir di Tjiparai, Bandung
(1896), lima tahun lebih tua dari Ali Hanafiah karena itu ia menyebut dirinya
kakanda, adalah tamatan STOVIA 1918 dan Universitas Amsterdam (dokter Arts,
1931). Sebelum menjadi Kepala Bagian Bakteriologi Lembaga Eijkman, Dokter
Djoehana pernah bekerja sebagai dokter pemerintah antara lain di CBZ Surabaya,
Krangaen (Madura), kepala rumah sakit Medan, Ambawara, dokter di rumah sakit
Pelembang, dokter dan peneliti di laboratorium kesehatan Semarang dan Jakarta.
Dia termasuk dokter yang banyak menghasilkan karya tulis (Gunseikanbu:379).
Setelah kemerdekaan menjadi dosen dan guru besar Fakultas Farmasi ITB.
212