Page 249 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 249
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
laki-laki yang disiksa dengan kejam, tidak ada yang menerima
kebiadaban seperti Dr. Arief” (ibid).
Dalam analisis Baird dan Marzuki (2020:189), diduga dan
sangat mungkin bahwa Dr. Arief dijadikan sarana penyiksaan
psikologis bagi para tahanan lain, terutama Mochtar. Tingkat
kebiadaban dan kematiannya seperti disengaja mengingat
perannya tidak ada dalam lingkaran “skenario sabotase” yang
sengaja diciptakan ini. Tubuhnya yang dimutilasi dipamerkan
di depan sel di hadapan para tahanan di markas besar Kenpeitai.
Alih-alih membuang mayatnya, Jepang mengirimkan jenazah ke
keluarganya –dan berarti ke komunitas dokter di Jakarta. Dan
(akhirnya), memang, saksi memiliki kesan menakutkan dan
menyebut kematian Dr. Arief sebagai peristiwa tak terlupakan
yang memperdalam siatuasi mereka yang sudah suram dan
ketakutan. Hal ini terlihat kelak dari kenangan Dr. Marzoeki,
Ada satu peristiwa yang tidak terlupakan oleh kami
dokter-dokter ketika pada 9 Desember 1944 jam 4 sore di depan
mata kami Dr. MA (Marah Arief) dibawa di brankar, sudah
meninggal karena siksaan dan perlakuan medis yang salah fatal.
Dibungkus dalam tikar, jenazahnya dimasukkan ke dalam truk
dan dikirim ke rumahnya. Perasaan putus asa dirasakan oleh
semua komunitas Indonesia; kami hanya berdiri tak berdaya
sama sekali. 11
Lama kemudian, dalam wawancara dengan Baird &
Sangkot (2020:190), Latifah Kodijat-Marzoeki mengenang
11 Kenangan Dr. Marzuki yang ditulis oleh putrinya Latifah Kodijad-Marzoeki,
dikutip Baird & Marzuki, 2020, hlm. 190.
220