Page 83 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 83
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
Setelah perubahan nama yang terakhir, masa pendidikan
di STOVIA ditingkatkan menjadi sepuluh tahun. Karena
kebutuhan akan tenaga dokter di Hindia Belanda pada
masa itu, STOVIA menerima siswa yang tidak memiliki
ijazah sekolah menengah –lagi pula memang tidak ada yang
punya ijazah sekolah menengah pada masa itu. Solusinya,
dibuatlah kurikulum pendidikan 10 tahun itu yang dibagi
atas dua tingkatan. Tiga tahun pertama tingkat pendahuluan,
dikhususkan untuk pelajaran Matematika, Bahasa (Belanda dan
Jerman wajib dikuasai), serta mata pelajaran lain. Pendidikan
pendahuluan tersebut diberlakukan guna mempersiapkan
siswa untuk rentetan pelajaran Zoologi, Botani, Kimia,
Fisika, Anatomi, Fisiologi, Histologi, dan Patologi yang akan
membentuk inti pendidikan kedokteran mereka selama tujuh
tahun berikutnya. Secara total, masa pendidikan di STOVIA
kurikulum 10 tahun itu tentu sangat melelahkan. Selama masa
itu siswa diharuskan tinggal di asrama STOVIA. Sebagian
besar dari mereka tiba ketika masih belia, sekitar 14 tahun.
4
Sedfangkan Achmad Mochtar, tiba di STOVIA pada awal 1907
ketika berumur 15 tahun.
Karena jumlah penerimaan siswa setiap tahun terbatas,
seleksi untuk masuk STOVIA sangat ketat. Alih-alih sulitnya
masuk sekolah ini, semua siswa STOVIA mendapatkan beasiswa
dari pemerintah kolonial. Akan tetapi, sebagai imbalannya,
4 Lihat J. Kevin Baird & Sangkot Marzuki, Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan
Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945, Depok:
Komunitas Bambu, September 2020, hlm. 78.
54