Page 85 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 85
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
kemudian mendorong lahirnya organisasi Budi Utomo di
kampus STOVIA pada tahun 1908.
Mochtar masuk di STOVIA tahun 1907, ketika benih-
benih kesadaran bersama sebagai bangsa terjajah mulai tumbuh
di kampus tersebut. Kampus STOVIA pada waktu itu bukan
lagi gedung lama ketika sekolah ini mulai berdiri dengan nama
“Sekolah Dokter Djawa” lebih setengah abad sebelumnya.
Sebuah kampus yang sangat luas (15.742 m2) telah dibangun
pada tahun 1902, berada dekat rumah sakit militer (kini
5
RSPAD Gatot Subroto). Kampus baru yang megah tentu saja
merupakan simbol status dan gengsi bagi sekolah ini. Namun
demikian, status STOVIA pada masa itu sebenarnya berada
antara tingkat pendidikan menengah dan sekolah tinggi,
karena masa belajarnya yang 10 tahun. Kalau kita bawa kepada
keadaan dewasa ini, status STOVIA –khususnya pelajar tingkat
lanjutan– sudah bisa disetarakan dengan politeknik kedokteran.
Tamatannya berhak atas diploma Indie Artsen (Arts.), tetapi
masih setingkat di bawah gelar Arts yang diberikan pendidikan
kedokteran di Universitas di Negeri Belanda. Makanya, untuk
mendapat gelar dokter penuh (Arts.), tamatan STOVIA harus
melanjutkan pendidikannya setingkat lagi ke universitas atau
sekolah tinggi kedokteran di Negeri Belanda. 6
5 Ibid.
6 STOVIA berubah status menjadi Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi
Kedokteran) pada tahun 1927, dan hanya menerima mahasiswa dari tamatan
sekolah menengah tingkat atas (HBS, KWS, AMS, dll) dan tamatannya mendapat
gelar Dokter penuh setaraf dengan dokter tamatan fakultas kedokteran atau
sekolah tinggi kedokteran di Negeri Belanda.
56