Page 97 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 97
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
sudah memperoleh gelar Doctor (Ph.D) yang rata-rata mereka
dapatkan dari universitas di Negeri Belanda. Termasuk di antara
kelompok paling elite ini adalah Achmad Mochtar, Djaenal
Asikin Widjaja Koesoema, Raden Sardjito, Mas Abdoel Fatah,
Mas Soeriobroto Antariksa, Raden Soemitro Hadibroto, Sjoeib
Proehoeman, dan lain-lain. Bahkan, tiga di antara mereka
pada zaman Jepang sudah mendapat gelar akademik tertinggi
sebagai profesor. Ketiganya adalah Prof. Dr. Achmad Mochtar,
Prof. Dr. Raden Djaenal Asikin Widjaja Koesoema, dan Prof.
Dr. Raden Soemitro Hadibroto (Gunseikanbu: 304, 312, 331).
Mereka mendapat gelar profesor karena diangkat menjadi “guru
tinggi” (istilah guru besar masa itu) di Ika Daigaku, sekolah
tinggi kedokteran yang didirikan Jepang setelah GHS ditutup
sebelum Jepang masuk ke Indonesia. Prof. Achmad Mochtar
bahkan diangkat sebagai Wakil Dekan Ika Daigaku, sementara
dekannya sendiri dijabat oleh orang Jepang, yaitu Prof. Itagaki.
Dari uraian di atas, dapatlah kita simpulkan, bahwa
keberadaan STOVIA dalam sejarah pendidikan di Indonesia, tidak
hanya melahirkan para dokter atau ahli kesehatan profesional
yang sangat dibutuhkan masyarakat. Tetapi sebagian mereka juga
telah tampil sebagai tokoh terkemuka bangsa Indonesia yang
turut ambil bagian dalam menumbuhkan kesadaran nasional
dan, selanjutnya, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, STOVIA pantas pula dijuluki sebagai “kampus
persemaian intelektual dan tokoh tekemuka” bangsa Indonesia.
Tentu termasuk di dalamnya Prof. Dr. Achmad Mochtar yang
biografinya kita kupas dalam buku ini.
68