Page 163 - Bu Kek Siansu 01_Neat
P. 163
Ketua Pulau Neraka itu mengelus-elus dagunya dan alisnya berkerut, berkali-kali
dia melirik ke arah cucunya. Dia adalah seorang yang sudah tua, biarpun tidak
pernah terjun ke dunia ramai, namun dia tahu bahwa cucunya jatuh hati kepada
pemuda yang hebat ini. Dan dia tidak melihat seorang pemuda lain di Pulau
Neraka yang kiranya patut menjadi suami cucunya! Tentu saja hatinya tidak rela
kalau pemuda itu pergi meninggalkan pulau karena dia tahu bahwa hal itu tentu
akan mengecewakan hati cucunya. Maka dia hanya menggelenggeleng kepala,
tanpa dapat menjawab.
Melihat keraguan ketuanya, seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih melaju
maju. Orang ini kepalanya gundul botak akan tetapi mukanya penuh brewok,
tubuhnya kurus kecil dan di lehernya ada seekor ular merah melingkar. Dia
adalah pembantu utam dari Ouw Kong Ek, seorang yang lihai ilmu
kepandaiannya dan bernama Lo Thong. Berbeda dengan Majikan Pulau Neraka
itu yang merupakan keturunan orang buangan, maka Lo Thong sendiri adalah
seorang buangan dari Pulau Es, tiga puluh tahun yang lalu dia dibuang dariPulau
Es karena sebagai seorang pemuda dia banyak melakukan kejahatan. Setelah
berada di Pulau Neraka dia memperdalam ilmi-ilmunya dan menjadi orang ke
dua yang terkuat setelah Ouw Kong Ek, yaitu sesudah putera Ouw Kong Ek yang
bernama Ouw Sian Kok, ayah Soan Cu menjadi gila dan meninggalkan pulau.
Maka dia diangkat sebagai pembantu utama oleh Ouw Kong Ek.
"Twako(Kakak)," Lo Thong berkata dan tidak seperti lain penghuni Pulau Neraka
yang menyebut ketua mereka tocu (majikan pulau), dia menyebutnya kakak,
"mengapa Twako bingung menghadapi urusan dua orang anak-anak ini?
Betapapun juga, mereka berada di pulau ini dan seharusnya mereka tunduk
kepada semua perintah Twako yang menjadi hukum di sini. Kalau mereka hendak
mengambil keputusan sendiri, boleh saja akan tetapi mereka harus lebih dulu
dapat mengalahkan kita!" Ouw Kong Ek memandang pembantunya dengan muka
berseri, seolah-olah dia terlepas dari keadaan yang ruwet. "Kalau begitu,
bagaimana baiknya,
162