Page 166 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 166
yang diusulkan. Walaupun, hidup dalam kondisi keter-
belakangan di Kampung Laut, masyarakat tetap memilih
untuk tinggal dan menetap di Tanah Timbul.
Pemerintah kemudian mengusahakan program trans-
migrasi lokal. Program transmigrasi lokal ditawarkan pada
masyarakat Cikerang di Petak 23 dan Petak 24. Program
transmigrasi lokal tersebut memberikan fasilitas yang dijanji-
kan pemerintah bahwa setiap masyarakat dalam bentuk Kepala
Keluarga (KK) akan mendapatkan tanah seluas 2 ha, dan
fasilitas layaknya program transmigrasi lainnya. Kalau kita
menilik, dari pertimbangan di atas masyarakat pasti akan
setuju dengan program transmigrasi lokal dari pemerintah,
karena masyarakat tidak setuju jika dipindahkan terlalu jauh
dari kampung halamannya. Namun kenyataannya dalam
kurun waktu setelah program sosialisasi pada tahun 1986-an
terjadi perubahan pendapat.
Masyarakat menolak program transmigrasi lokal yang
diinisiasi oleh pemerintah dengan alasan mereka sangat ber-
harap bisa mengelola Tanah Timbul baik sebagai pemukiman
dan tanah pekarangan, juga untuk mengembangkan usaha
dan kehidupan keluarga pada tanah leluhur. Masyarakat takut
kehilangan eksistensinya sebagai nelayan dan warga asli Kampung
Laut. Ada yang berpendapat, masyarakat apriori bahwa
setelah dipindahkan nanti masyarakat lainnya menempati dan
menguasai Tanah Timbul.
Masyarakat mendapatkan Tanah Timbul seluas 350
ubin (14 X 350 meter). Jatah Tanah Timbul yang sudah dibagi-
kan pada masyarakat dapat di-trukah dengan berbagai cara
sesuai dengan kehendak dan kemampuan masyarakat dalam
mengelola Tanah Timbul.
Sertifikasi Lahan Pekarangan
Masyarakat Kampung Laut terus memperjuangkan
penguasaan lahan Tanah Timbul lebih kuat dalam bentuk
152