Page 171 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 171
penguasaan tanah berbasis jasa. Sebagaimana disebutkan di
atas bahwa di Kampung Laut berlaku aturan bagi setiap
350:100 ubin untuk setiap lahan yang di-trukah. Artinya,
untuk setiap lahan baru dengan luasan 350 ubin yang di-trukah
atau dibabat, maka bagi yang orang darat (orang luar) yang
ikut membantu proses trukah akan mendapatkan imbalan
pembagian lahan 100 ubin. Jumlah pembagian dari hasil
trukah berlaku jumlah kelipatannya. (2) Adapun sistem pemi-
likan areanya berlaku hukum bahwa seluruh area Segara
Anakan adalah hak warga Kampung Laut. Di luar warga asli
tidak bisa. Siapakah warga asli? Menurut Gunantoro (mantan
kepala desa Panikel) bahwa mereka yang disebut sebagai
warga asli adalah mereka yang tinggal di area Kampung Laut
sebelum tahun 1986 dan mereka sudah mempunyai keluarga
dengan dibuktikan adanya Kartu Keluarga (KK) asli
Kampung Laut. (3) Sistem sewa, paro, gadai, dan jual beli
menganut asas yang sama dan berlaku di “darat”. 46
Dalam trukah, aparat pemerintahan desa terlibat dalam
proses pembagian lahan-lahan hasil trukah, terutama dalam
membuat ketetapan luasan dan kepemilikan lahan warga.
Akan tetapi ketika terjadi transaksi lahan yang sangat liar
dan benar-benar menganut azas ekonomi pasar, sepertinya
47
aparat tidak berkutik. Sehingga tidak jarang mereka
menemukan kendala ketika pada akhirnya terjadi berbagai
masalah seperti tumpang tindih kepemilikan lahan garapan,
serta berbagai sengketa agraria lainnya.
46 Kerangka Land Tenure System dan Land Tenancy System ini
diadopsi dari keraka pemikiran Gunawan Wiradi. Selengkapnya lihat:
Gunawan Wiradi. Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi.
(editor: M. Shohibuddin) Sains: Bogor, 2009. h. 147-148
47 Pandangan ini dikemukakan oleh seluruh aparat desa di lingkup
wilayah Kecamatan Kampung Laut.
157