Page 173 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 173
kebanyakan memilih prosedur lain seperti sewa, gadai, paro,
dan juga membeli. Para pendatang atau pemodal ini berani
melakukan investasi di Tanah Timbul karena mereka menge-
tahui dengan baik kesuburan tanah ini. Sehingga meski saat
ini baru bisa ditanami selama masa penghujan saja, tapi hasil
yang didapatkan cukup menguntungkan.
Kemudian jika dilihat secara seksama, proses yang terjadi
pada mekanisme pengalihan aset ini nyaris persis seperti yang
dikemukakan oleh Lenin, seperti dikutip oleh Gunawan Wiradi
(2009) mengenai Diferensiasi Sosial , dijelaskan berikut:
49
Pada titik awal, kepemilikan lahan terjadi secara homo-
gen pada masyarakat Kampung Laut atau warga Bejagan saja.
Bahkan karena kontur lahannya bisa dikatakan tidak ada,
kepemilikan atas lahan yang permanen nyaris tidak ada.
Meskipun demikian, batas-batas agraria mulai tumbuh ketika
laut mulai mendangkal dan masyarakat mulai bisa menanam
patok-patok batas tempat mereka melakukan usaha-usaha
ekonomi seperti membangun jaring apung dan lain-lain.
Tahap berikutnya adalah fase transisi, di mana lahan-lahan
mulai mengeras (atau sengaja dibuat keras seperti yang
dilakukan oleh masyarakat Ujung Gagak),
Pada fase inilah kemudian terjadi berbagai alih fungsi
lahan yang cukup massif. Terlebih tidak ada ketetapan dari
pemerintah mengenai sistem transaksi berbasis lahan-lahan
yang hak garapnya ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga
lama-lama terjadi konsolidasi kepemilikan lahan di Kampung
Laut terutama oleh warga pendatang.
Proses ini jika mengacu pada kerangka di atas, bisa
dikatakan sebagai fase antagonistik. Sebab di satu sisi warga
Kampung Laut yang ‘dianugerahi’ lahan untuk membangun
sistem kehidupan baru. Sementara di sisi lain, karena skill
49 Lihat, Gunawan Wiradi. Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih
Gunawan Wiradi. (editor: M. Shohibuddin) Sains: Bogor, 2009. h. 118.
159